وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ ۚ وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ۚ وَبُعُولَتُهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَٰلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا ۚ وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ ۚ وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ
Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki ishlah. Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf. Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada isterinya. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
Penakwilan firman Allah : وَالْمُطَلَّقَت يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوءٍ (Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru').
Abu Ja'far berkata: Yang dimaksud oleh Allah adalah: dan wanita-wanita yang ditalak setelah cerai dari suami-suaminya-dan setelah mereka dibebaskan oleh suaminya, jika mereka haid atau suci- hendaklah mereka menahan diri untuk menikah lagi hingga tiga kali quru'.
Dan ahli takwil berbeda pendapat tentang makna quru'yang dimaksud dalam firman Allah : يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ "Hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru" sebagian dari mereka mengatakan: yang dimaksud adalah haid. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, ia berkata: Isa menceritakan kepada kami, dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid tentang firman Allah :
وَالْمُطَلَّقَت يَتَرَبَّصْنَ بِأَنفُسِهِنَّ ثَلَثَةَ قُرُوءٍ
"Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'" ia berkata: haid.
Dari Al Mutsanna menceritakan padaku, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Ja'far menceritakan kepada kami, dari bapaknya, dari Ar-Rabi': : ثَلَاثَةَ قُرُوءِ yaitu : tiga kali haid, ia berkata: iddahnya tiga kali haid.
Dari Humaid bin Mas'adah menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid bin Zurai' menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa'id bin Abi Arubah menceritakan kepada kami, ia berkata: Mathar menceritakan kepada kami bahwa Al Hasan menceritakan kepada mereka: bahwa seorang laki-laki mentalak istrinya, kemudian diwakilkan kepada seorang laki-laki dari keluarganya atau beberapa orang wanita dari keluarganya-untuk mentalaknya, kemudian yang mewakili laki-laki tersebut lupa sehingga keturunannya masuk haidnya yang ketiga, dan sudah akan mandi, kemudian orang yang mewakili tadi pergi kepada suami, dan suami ingin menemuinya sementara istri ingin mandi, maka suami berkata: Wahai fulanah, perempuan itu berkata: "Apa yang kamu kehendaki?" la menjawab: "Aku telah merujukmu lagi." ia menjawab: "Demi Allah tidak ada hak lagi bagimu." Lelaki itu berseru: "Demi Allah masih ada hak." Perawi berkata: kemudian keduanya mengadukan hal itu kepada Abu Musa Al Asy'ari, dan dia mengambil sumpah dari wanita itu, apakah kamu telah mandi ketika laki-laki itu memanggilmu?" ia menjawab: "Demi Allah, belum, aku baru ingin mengambil air untuk mandi." Maka dia mengembalikan wanita tersebut kepada suaminya dan berkata: "Suaminya lebih berhak atas dia selama belum mandi dari haidnya yang ketiga."
Pendapat yang lain mengatakan: yang dimaksud القرء yang Allah perintahkan kepada wanita-wanita yang ditalak untuk beriddah di dekatnya adalah الطهر masa suci), berasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Abdul Hamid bin Bayan menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan memberitahukan kepada kami, dari Az-Zuhri, dari Amrah, dari Aisyah, mengatakan : الأقراء adalah الأطهار masa suci
Dari Yunus menceritakan padaku, ia berkata: Ibnu Wahab menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Umar menceritakan kepada kami, ia berkata: dari Abdurrahman bin Al Qasim, dari bapaknya dari Aisyah istri Nabi SAW mengatakan : الأقراء adalah masa suci.
Penakwilan firman Allah : وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَنْ يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ إِنْ كُنَّ يُؤْمِنَّ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ ( Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang menciptakan Allah di dalam rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat)
Para ahli takwil berbeda pendapat tentang penawilan ayat tersebut, sebagian mengatakan: takwilnya adalah : وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ bagi wanita yang ditalak itu untuk menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka berupa haid jika mereka ditalak. Diharamkan bagi mereka untuk bersembunyi kepada suami mereka yang masih memiliki hak untuk rujuk dengan tujuan untuk membatalkan hak rujuk suami kepada mereka, berdasarkan riwayat-riwayat berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Al-Laits menceritakan kepadaku, dari Yunus, dari Ibnu Shihab, mengatakan: Allah berfirman :
وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ : sampai firman-Nya وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ۗ وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ ia berkata: telah sampai kepada kami bahwa apa yang telah Allah ciptakan dalam rahim mereka adalah berupa kehamilan, dan telah sampai kepada kami bahwa itu adalah haid, maka tidak halal bagi mereka untuk menyembunyikan hal tersebut agar segera berakhir iddah mereka dan tidak ada hak untuk rujuk bagi suami mereka.
Dari Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Yahya bin Sa'id menceritakan kepada kami, dari Sufyan, dari Manshur, dari Ibrahim: Tidak boleh" وَلَا يَحِلُّ هُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya" ia berkata: haid.
Pendapat yang lain mengatakan: bahwa makna yang dilarang untuk disembunyikan dari suaminya yang telah mentalaknya adalah kehamilan dan haid. Sebagaimana riwayat berikut:
Dari Humaid bin Mas'adah menceritakan kepada kami, ia berkata: Yazid bin Zurai' menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Asy'ats menceritakan kepada kami, dari Nafi' dari Ibnu Umar: وَلَا تَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ "Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya" dari haid dan hamil, tidak dihalalkan baginya jika dia haid untuk menyembunyikan haidnya, dan jika dia hamil untuk menyembunyikan hamilnya.
Dan yang lainnya mengatakan: bahwa yang dimaksud adalah kehamilan. Kemudian mereka berselisih pendapat tentang sebab dilarangnya menyembunyikan dari suaminya. Sebagian mengatakan: perbuatan itu dilarang agar istri tersebut tidak membatalkan hak suami untuk rujuk jika ingin kembali kepada istrinya sebelum dia hamil dan melahirkan. Sebagaimana riwayat berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan padaku, ia berkata: Suwaid bin Nashr menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Al Mubarak memberitahukan kepada kami, dari Qubats bin Razin dari Ali bin Rabah, bahwa dia menceritakan kepadanya bahwa Umar bin Khaththab berkata kepada seorang laki-laki, bacalah ayat ini kemudian dia membacanya, kemudian berkata: Sesungguhnya fulanah termasuk wanita yang menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahimnya, dan dia ditalak dalam keadaan hamil kemudian dia menyembunyikannya sampai dia melahirkan.
Pendapat yang lainnya mengatakan: sebab tidak dibolehkan bagi mereka untuk menyembunyikan hal itu adalah: bahwa pada masa jahiliyah mereka menyembunyikan dari suami-suami mereka karena mereka takut kalau suami mereka merujuk kembali, dan agar mereka bisa menikah dengan orang lain, maka nasab yang dikandungnya dari suami yang mentalaknya akan dinisbatkan kepada orang lain yang menikahinya, maka Allah mengharamkan hal itu kepada mereka, berdasarkan riwayat-riwayat berikut:
Dari Bisyr bin Mu'adz menceritakan kepada kami, ia berkata: Suwaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa'id menceritakan kepada kami, dari Qatadah tentang firman Allah : وَلَا يَحِلُّ هُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ "Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah di dalam rahimnya" bahwa wanita jika ditalak akan menyembunyikan apa yang ada dalam perut dan kehamilannya agar dia bisa membawa pergi anak tersebut kepada selainnya, maka Allah sangat membenci hal tersebut di atas mereka.
Pendapat yang lainnya mengatakan: sebab tidak dibolehkan bagi mereka untuk menyembunyikan hal tersebut adalah: karena laki-laki jika ingin menceraikan istrinya dia menanyakan kepada istrinya apakah dia hamil darinya, agar tidak menceraikannya dalam keadaan hamil, agar tidak berbahaya bagi dirinya dan anak yang dikandungnya ketika diceraikan, maka mereka diperintahkan untuk jujur dan tidak boleh berdusta dalam hal ini, berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Musa menceritakan kepadaku, ia berkata: Asbath menceritakan kepada وَلَا يَحِلُّ لَهُنَّ أَن يَكْتُمْنَ مَا خَلَقَ اللَّهُ فِي أَرْحَامِهِنَّ : kami, dari As-Suddi "Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahimnya" maka seorang laki-laki jika ingin mencerai istrinya dia bertanya: apakah kamu hamil? Maka istrinya menyembunyikannya agar dia dicerai oleh suaminya, setelah dicerai dia menyembunyikan hamilnya sampai dia melahirkannya. Jika suami mengetahui hal tersebut maka dia dikembalikan kepada suaminya sebagai hukuman atas perbuatannya menyembunyikan hamilnya, dan suaminya lebih berhak atas dirinya dengan merujuknya secara paksa.
Abu Ja'far berkata: Pendapat yang paling benar dalam penawilan ayat ini adalah bahwa apa yang dilarang bagi wanita yang ditalak dengan talak satu atau dua yakni menyembunyikan apa yang Allah ciptakan dalam rahimnya adalah haid dan kehamilan, karena tidak ada perbedaan pendapat di antara umat bahwa masa iddah akan habis dengan lahirnya anak yang dikandungnya, dan dengan keluarnya darah jika dia melihatnya setelah masa suci yang ketiga bagi yang mengatakan bahwa quru' adalah masa suci, dan bagi yang mengatakan bahwa quru' adalah masa haid maka dengan selesainya haid yang ketiga kemudian bersuci dengan mandi.
Oleh karena itu, Allah mengharamkan mereka menyembunyikan dari laki-laki yang mentalaknya sebagaimana yang kami terangkan bahwa dengan menyembunyikan tersebut tidaklah gugur hak suami yang telah Allah tetapkan bagi mereka setelah talak hingga selesainya iddah mereka, dan hak itu gugur dengan lahirnya anak jika mereka hamil, atau dengan selesainya tiga quru' jika mereka tidak hamil.
Penakwilan firman Allah : وَبُعُولَهُنَّ أَحَقُّ بِرَدِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إصْلَحًا (Dan suami-suaminya berhak Merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah)
Abu Ja'far berkata: البعولة jama dari البعل yaitu suami dari seorang perempuan
Sedangkan takwil ayat tersebut adalah: Dan suami dari wanita-wanita yang ditalak yang telah diwajibkan kepada mereka menahan diri mereka selama tiga kali quru', dan telah diharamkan kepada mereka untuk menyembunyikan apa yang Allah ciptakan di dalam rahim mereka, adalah lebih berhak dan lebih utama untuk merujuknya dalam masa penantian mereka hingga tiga kali quru', masa kehamilan, dan untuk menisbatkan anak yang kandung mereka, sebagai berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdullah bin Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu'awiyah menceritakan kepadaku, ia berkata: dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas:
وَبُعُولَهُنَّ أَحَقُّ بِرَبِّهِنَّ فِي ذَلِكَ إِنْ أَرَادُوا إِصْلَاحًا
"Dan suami-suaminya berhak merujuknya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami) itu menghendaki ishlah" jika suami mentalak istrinya dengan talak satu atau talak dua, sedangkan dia dalam keadaan hamil maka dia lebih berhak untuk merujuknya selama belum melahirkan.
Penakwilan firman Allah: وَ لَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنَّ بِالْمَعْرُوفِ (Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf).
Abu Ja'far berkata: Ahli takwil berbeda pendapat tentang takwil ayat tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan: Takwilnya adalah mereka berhak mendapatkan perlakuan yang baik dan ma'ruf dari suami mereka, sebagaimana wajib bagi mereka untuk taat kepada suami sesuai dengan ketentuan Allah. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan padaku, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, dari Juwair, dari Adh-Dhahhak tentang firman Allah : وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِنٌ بالمعروف “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf” jika mereka taat kepada Allah dan taat kepada suami, maka wajib baginya untuk memperlakukan isteri dengan baik, tidak menyakitinya, dan menafkahi dengan hartanya.
Pendapat yang lain mengatakan: wajib bagi mereka berdandan dan berhias untuk suami mereka sebagaimana suami mereka melakukan hal yang sama terhadap istri mereka. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Ibnu Waki' menceritakan kepada kami, ia berkata: Bapakku menceritakan kepada kami, dari Basyir bin Salman, dari Ikrimah dari Ibnu Abbas, mengatakan: berkata: aku senang berdandan untuk wanita sebagaimana aku senang mereka berdandan untukku, karena Allah berfirman: وَلَهُنَّ مِثْلُ الَّذِي عَلَيْهِينٌ بِالْمُعْرُوفِ “Dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma'ruf"
Penakwilan firman Allah : وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ (Akan tetapi bagi suami, mempunyai satu tingkat kelebihan daripada istri).
Abu Ja'far berkata: Ahli takwil berbeda pendapat tentang penawilan ayat tersebut. Sebagian dari mereka mengatakan bahwa makna derajat yang Allah jadikan bagi laki-laki lebih tinggi dari wanita adalah apa yang Allah lebihkan atas mereka dalam masalah warisan dan jihad dan lain-lain. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Muhammad bin Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, dari Isa, dari Ibnu Abi Najih dari Mujahid tentang firman Allah: وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ "Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada Istri" bagian yang Allah berikan kepada laki-laki melebihi wanita adalah jihad, warisan, dan semua kelebihan yang Allah berikan atas mereka.
Pendapat yang lain mengatakan: bahwa derajat yang dimaksud adalah kekuasaan dan ketaatan. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Yaman menceritakan kepada kami, dari Sufyan, dari Zaid bin Aslam tentang firman Allah: وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ yakni kekuasaan.
Dari Yunus menceritakan padaku, ia berkata: Ibnu Wahab memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid yang mengatakan dalam hal firman Allah : وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ ia berkata: ketaatan. komentarnya: para istri hendaknya menaati suami mereka, sedangkan para suami tidak ada kewajiban untuk taat kepada istrinya.
Pendapat yang lain mengatakan: yang dimaksud dengan derajat itu adalah apa yang telah diberikan kepada istrinya berupa mahar, dan bahwa jika dia (istri) mengqadzafnya menuduhnya berzina- maka ditetapkan sebagaimana mestinya (hukuman), sedangkan jika suami mengqadzafnya maka suaminya akan dilaknat. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Muhammad bin Hamid menceritakan kepada kami, ia berkata: Jarir menceritakan kepada kami, dari Ubaidah dari Asy-Sya'bi tentang firman Allah : وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنٌ دَرَجَةٌ "Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya" ia berkata: dengan memberikan mahar, jika suami menuduhnya berzina maka dia melaknatnya, dan jika istri menuduhnya berzina maka dia dicambuk dan isteri mengaku di hadapannya.
Pendapat yang lainnya mengatakan: Yang dimaksud dengan derajat yang dilebihkan baginya adalah apa yang Allah lebihkan baginya atas wanita, dan menjalankan hak wanita terhadap dirinya sendiri, serta kelonggaran yang diberikan suami terkait kewajiban istri terhadap suami atau sebagiannya. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Ibnu Waki' menceritakan kepada kami, ia berkata: Bapakku menceritakan kepada kami, dari Basyir bin Salman dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas mengatakan: aku tidak senang untuk menuntut semua hakku atas dia karena Allah berfirman: وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ "Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya"
Pendapat yang lainnya mengatakan: akan tetapi makna derajat dalam ayat ini adalah jenggot yang Allah haramkan bagi wanita: berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Musa bin Abdurrahman Al Masruqi menceritakan kepadaku, ia berkata: Ubaid bin Ash-Shabah menceritakan kepada kami, ia berkata: Humaid mengatakan: وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ "Akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan kelebihan dari istrinya" ia berkata: berjanggut.
Abu Ja'far berkata: Takwil yang paling utama dalam penawilan ayat ini adalah apa yang dikatakan Ibnu Abbas yaitu: bahwa makna derajat yang sebutkan dalam ayat ini adalah kelonggaran yang diberikan laki-laki dengan memikul kewajiban yang dibebankan kepada wanita, dan kebahagiaan yang diberikan kepadanya, serta menjalankan kewajiban yang dibebankan kepada laki-laki atas wanita terhadap laki-laki.
Penakwilan firman Allah : وَاللَّهُ عَزِيزٌ حَكِيمُ (Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana).
Abu Ja'far berkata: Allah Maha Perkasa dalam membalas mereka yang menyalahi perintah-Nya, dan melampaui batas-batasan-Nya, yaitu mendatangi wanita pada saat haid, menjadikan Allah sebagai alasan untuk bersumpah berbuat baik, bertakwa serta mendamaikan di antara manusia, menyakiti istri dengan mengila'nya, dan merugikan istrinya ketika merujuknya setelah ditalaknya, dan membalas terhadap wanita-wanita yang bersembunyi dari suami mereka apa yang Allah ciptakan dalam rahim mereka, menikah ketika masih dalam masa iddah, tidak menahan diri mereka untuk menikah dalam waktu yang telah ditentukan oleh Allah bagi mereka, dan melakukan maksiat yang lainnya. Allah Maha Bijaksana dalam mengatur makhluk-Nya, dan dalam mengatur hukum dan ketentuan makhluk-Nya terhadap apa yang Allah tetapkan.
Sumber : Tafsir At Thabari bag 3 hal 780 sd 821

Comments
Post a Comment