الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَعْلُومَاتٌ ۚ فَمَنْ فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ۗ وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمْهُ اللَّهُ ۗ وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَىٰ ۚ وَاتَّقُونِ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ
(Musim) haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi, barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh rafats, berbuat fasik dan berbantah-bantahan di dalam masa mengerjakan haji. Dan apa yang kamu kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya. Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa dan bertakwalah kepada-Ku hai orang-orang yang berakal.
Penakwilan firman Allah: الْحَجُّ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَاتٌ (Musim] haji adalah beberapa bulan yang dimaklumi)
Abu Ja'far berkata: Maknanya; waktu haji itu adalah beberapa bulan yang terbilang. Dan kata أَنْهُرٌ adalah marfu' dengan kata الحج, meskipun ia sebagai indikasi waktu baginya dan bukan sifat, karena ia nakirah dan bukan ma'rifah.
Kemudian para mufassir berselisih pendapat tentang penakwilannya. Sebagian mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud adalah: Syawwal, Dzulqa'dah dan sepuluh hari awal Dzulhijjah. Seperti dijelaskan dalam riwayat-riwayat berikut:
Dari Ahmad bin Ishaq Al Ahwazi menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ahmad menceritakan kepada kami, ia berkata: Syuraik menceritakan kepada kami dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwash, dari Abdullah: الْحَجُ أَشْهُرٌ مَّعْلُومَتٌ ia berkata: Syawwal, Dzulqa'dah dan sepuluh hari awal Dzulhijjah.
Dari Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Isma'il bin Nashr As-Sulami menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibrahim bin Isma'il bin Abi Hubaibah menceritakan kepada kami dari Daud bin Hushain, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas, ia berkata: Bulan-bulan haji yaitu Syawwal, Dzulqa'dah dan sepuluh hari awal Dzulhijjah.
Abu Ja'far berkata: Jika ada yang bertanya: apa alasan pendapat ini mengatakan demikian, sementara anda mengetahui bahwa amalan haji telah selesai setelah hari-hari Mina? Jawabannya: bahwa maknanya tidak seperti yang anda duga, tetapi yang mereka maksud bahwa bulan-bulan haji itu tiga bulan penuh, dan ia adalah bulan-bulan haji, bukan bulan-bulan umrah, adapun bulan-bulan umrah adalah selain itu sepanjang tahun.
Yang membuktikan bahwa maksud mereka berpendapat demikian adalah riwayat-riwayat berikut:
Dari Yaqub bin Ibrahim menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Aliyah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ayyub memberitahukan kepada kami dari Nafi', ia berkata: Ibnu Umar berkata: memisahkan antara bulan-bulan haji dan umrah lalu menjadikan bulan-bulan umrah di luar bulan-bulan haji adalah lebih sempurna bagi haji dan umrah seseorang diantara kalian.
Penakwilan firman Allah : فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ (Barangsiapa yang menetapkan niatnya dalam bulan itu akan mengerjakan Haji)
Abu Ja'far berkata: Maknanya, bahwa barangsiapa yang menetapkan dirinya untuk melaksanakan ibadah haji di bulan-bulan tersebut, dan tekad akan melakukan segala perintah Allah dan menghindari larangan-Nya yang berkenaan dengan haji.
Para mufassir berselisih pendapat tentang makna fardhu haji di sini, setelah mereka sepakat bahwa makna fardhu adalah kewajiban dan keharusan. Sebagian mereka mengatakan bahwa fardhu haji adalah ihlal (talbiyah). Seperti disebutkan dalam riwayat-riwayat berikut:
Dari Ahmad bin Ishaq Al Ahwazi menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Ahmad menceritakan kepada kami, ia berkata: Waraqa menceritakan kepada kami dari Abdullah Al Madani bin Dinar, dari Ibnu Umar: فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ ia berkata: Barangsiapa yang ihlal haji.
Sebagian mereka mengatakan: fardhu haji adalah ihram. Seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan kepada saya, ia berkata: Abu Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu'awiyah menceritakan kepada saya, ia berkata dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas: فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجَّ artinya: barangsiapa berihram haji atau umrah.
Abu Ja'far berkata: Pendapat yang kedua ini kemungkinan maknanya adalah seperti yang kami katakan, bahwa ihram-menurut yang berpendapat ini- artinya keharusan dengan penuh tekad. Dan kemungkinan maknanya seperti pendapat yang pertama, adalah memiliki keharusan dengan nilai yang kuat dan talbiyah.
Alasan kami mengatakan bahwa yang dimaksud dengan fardhu haji adalah ihram, karena ia sesuai dengan kesepakatan ulama. Dan kami katakan, bahwa ihram adalah mewajibkan diri atas apa yang menjadi kewajiban orang yang berihram, sebagaimana tadi telah kami jelaskan. Karena hal ini tidak lepas dari tiga hal: bahwa orang tersebut tidak berihram kecuali dengan talbiyah dan melakukan apa yang wajib dilakukan oleh orang yang berihram,
Penakwilan firman Allah: فَلَا رَفَثَ (maka tidak boleh rafats)
Abu Ja'far berkata: para mufassir berselisih pendapat tentang makna rafats dalam ayat ini. Sebagian mereka mengatakan, bahwa maknanya: berkata-kata kotor dengan perempuan di sisinya, misalnya mengatakan: jika kita telah selesai tahallul maka aku akan melakukan demikian dan demikian atas dirimu, tanpa menggunakan kata kiasan. Demikian maknanya seperti dijelaskan dalam riwayat-riwayat berikut:
Dari Ahmad bin Hammad Ad-Dulabi dan Yunus menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Thawus, dari bapaknya, ia berkata: saya bertanya kepada Ibnu Abbas tentang firman Allah: فَلَا رَفَتَ jawabnya: ia adalah kata sindiran yang berarti jima', dan dalam bahasa Arab berarti nikah, yaitu kata-kata kotor yang rendah.
Dari Yunus bin Abdul A'la menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahab memberitahukan kepada kami, ia berkata: Yunus memberitahukan kepadaku bahwa Nafi' memberitahukan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar berkata: rafats yaitu menggauli isteri dan menceritakannya kepada kaum laki-laki dan perempuan, lalu mereka menyebut-nyebutnya dengan ucapan mereka.
Abu Ja'far berkata: Menurutku pendapat yang benar adalah mengatakan, bahwa Allah melarang orang yang telah menetapkan dirinya akan menunaikan ibadah haji dari berlaku rafats. Dimana rafats dalam bahasa Arab artinya berkata-kata kotor, seperti yang telah kami sebutkan pada bagian yang lalu, kemudian menjadi kata kiasan jima'. Dan jika demikian, dimana para ulama berselisih pendapat tentang penakwilannya, apakah yang dimaksud dengan larangan tersebut adalah sebagian maknanya atau seluruhnya, maka yang tepat adalah menetapkan seluruh maknanya, karena tidak ada hadits yang mengkhususkan maknanya sebatas kata-kata kotor, dan tidaklah dibenarkan mengalihkan makna suatu ayat dari yang dzahir kepada yang batin kecuali dengan dalil yang shahih.
Penakwilan firman Allah: وَلَا فُسُوفَ (berbuat fasik)
Abu Ja'far berkata: Para mufassir berselisih pendapat tentang penakwilan makna fusuq dalam ayat ini. Sebagian mereka mengatakan, bahwa maknanya: yaitu semua bentuk kemaksiatan. Seperti dijelaskan dalam riwayat-riwayat berikut:
Dari Abu Kuraib menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan bin Uyainah menceritakan kepada kami dari Khushaif dari Muqsam dari Ibnu Abbas ia berkata: fusuq artinya semua kemaksiatan.
Sebagian mereka mengatakan, bahwa fusuq dalam ayat ini artinya kemaksiatan yang dilarang Allah ketika berihram seperti berburu, mencukur rambut, memotong kuku dan lain-lain, yang khusus dalam ihram dimana Allah memerintahkan agar hal-hal tersebut dijauhi selama dalam kondisi ihram. Demikian seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Suwaid bin Nashr menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Mubarak memberitahukan kepada kami dari Muhammad bin Ishaq, dari Nafi', dari Ibnu Umar, ia berkata: fusuq yaitu kemaksiatan kepada Allah yang dilakukan di tanah haram seperti berburu dan yang lainnya.
Sebagian mereka mengatakan, bahwa fusuq disini artinya caci maki. Seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Abdul Hamid bin Bayyan menceritakan kepada kami, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami dari Syuraik, dari Ibrahim bin Muhajir, dari Mujahid, dari Ibnu Umar, ia berkata: fusuq artinya caci maki.
Sebagian yang lain mengatakan, bahwa fusuq artinya: mencela dengan julukan.
Dari Al Hasan bin Yahya menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdurrazzaq menceritakan kepada kami, ia berkata: Husain bin Uqail menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku mendengar Adh-Dhahhak bin Muzahim berkata, lalu ia menyebutkan riwayat yang sama.
Abu Ja'far berkata: Pendapat yang paling tepat dalam penawilan ayat ini adalah yang mengatakan; bahwa fusuq dalam ayat ini artinya kemaksiatan yang dilarang Allah dalam ihram seperti berburu, mencukur rambut, memotong kuku dan lain-lain, yang khusus dalam ihram dimana Allah memerintahkan agar hal-hal tersebut dijauhi selama dalam ihram. Karena Allah berfirman :
فَمَن فَرَضَ فِيهِنَّ الْحَجِّ فَلَا رَفَثَ وَلَا فُسُوقَ maksudnya; tidak dibenarkan berlaku rafats dan fusuq selama dalam kondisi ihram. Dan kita semua tahu bahwa Allah melarang siapapun dari berbuat maksiat kepada-Nya, baik ketika ihram maupun tidak, juga melarang mencela dengan julukan yang buruk dalam ihram dan di luar ihram, sebagaimana firman-Nya:
وَلَا تَلْمِزُوا أَنفُسَكُمْ وَلَا تَنَابَزُوا بِالْأَلْقَبِ
“Dan janganlah kamu mencela dirimu sendiri dan janganlah kamu panggil memanggil dengan gelar-gelar yang buruk." (Qs. Al Hujuraat [49]: 11), dan melarang mencaci maki saudaranya dalam segala kondisi, dalam ihram maupun di luar ihram.
Penakwilan firman Allah : وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِ (dan berbantah- bantu di dalam masa mengerjakan haji)
Abu Ja'far berkata: Para mufassir berselisih pendapat dalam penakwilan ayat ini. Sebagian besar mereka mengatakan, bahwa maknanya: janganlah orang yang berihram berbantah-bantahan dengan seorangpun.
Lalu orang yang berpendapat demikian berselisih pendapat. Kebanyakan mereka mengatakan: ia dilarang berbantah-bantahan dengan teman hingga mengundang kemarahannya. Demikian seperti dijelaskan dalam riwayat- riwayat berikut:
Dari Abdul Hamid bin Bayyan menceritakan kepada kami, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami dari Syuraik dari Abu Ishaq, dari Abul Ahwash, dari Abdullah: وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجَّ ia berkata: yaitu berbantahan dengan temanmu hingga membuatnya marah.
Dari Abdul Hamid bin Bayyan menceritakan kepada kami, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami dari Syuraik, dari Abu Ishaq, dari At-Tamimi, ia berkata: aku bertanya kepada Ibnu Abbas tentang makna jidal, jawabnya: yaitu berbantahan dengan temanmu hingga membuatnya marah.
Sebagian mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan jidal disini adalah mencaci maki. Seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Yunus bin Abdul A'la menceritakan padaku, ia berkata: Ibnu Wahab memberitahukan kepada kami, ia berkata: Yunus memberitahukan padaku, Nafi' memberitahukan kepadanya bahwa Abdullah bin Umar berkata: yang dimaksud dengan الجدال في الحج yaitu caci maki, bantah-bantahan dan pertengkaran.
Sebagian mereka mengatakan, bahwa yang dimaksud dengan jidal disini dalah jidal khusus, yaitu bersengketa tentang siapa yang lebih sempurna hajinya. Seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Yunus bin Abdul A'la menceritakan padaku, ia berkata: Ibnu Wahab memberitahukan kepada kami, ia berkata: Abu Shakhar menceritakankan menceritakan dari Muhammad bin Ka'b Al Qardhi, ia berkata tentang الجدال في الحج : adalah orang-orang Quraisy jika berkumpul di Mina mereka mengatakan: haji kami lebih sempurna dari haji kalian, lalu mereka membalas dengan mengatakan: haji kami lebih sempurna daripada haji kalian.
Sebagian mereka mengatakan, bahwa jidal yang dimaksud disini adalah jidal tentang waktu pelaksanaan haji, maka mereka dilarang darinya. Seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Al Hajjaj menceritakan kepada kami, ia berkata: Hammad menceritakan kepada kami kami dari Jibr bin Hubaib dari Al Qasim bin Muhammad bahwa ia berkata: jidal dalam haji yaitu sebagian mereka mengatakan: haji hari ini, sebagian yang lain mengatakan: haji besok.
Sebagian mereka mengatakan, bahwa jidal yang dimaksud adalah persengketaan tentang siapa yang hajinya paling tepat seperti haji Ibrahim.
Seperti dalam riwayat berikut:
Dari Yunus bin Abdul A'la menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Wahab memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid berkata tentang firman Allah : وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ia berkata: mereka menempati tempat yang berbeda-beda dan saling bersengketa, masing-masing mengaku bahwa tempat hajinya paling tepat seperti tempat Ibrahim. Maka Allah memutuskan hal itu ketika Rasulullah SAW menjelaskan tata cara manasik mereka.
Sebagian mereka mengatakan, bahwa firman-Nya: وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجّ adalah informasi dari Allah tentang lurusnya waktu haji pada satu miqat, tidak memajukannya dan tidak menundanya. Seperti dijelaskan dalam riwayat berikut:
Dari Ibnu Basysyar menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdurrahman bin Mahdi menceritakan kepada kami, ia berkata: Sufyan menceritakan kepada kami dari Abdul Aziz bin Rafi' dari Mujahid tentang firman Allah: وَلَا جِدَالَ فِي الْحَجِّ ia berkata: haji telah lurus, tidak ada jidal serupanya.
Abu Ja'far berkata: Penakwilan yang paling tepat adalah yang mengatakan, bahwa maknanya; selesailah sudah jidal dalam masalah haji dan waktunya, karena ia telah lurus pada satu waktu dan memiliki manasik yang tertib, maka tidak dibenarkan lagi bersengketa dan berbantah-bantahan atasnya. Ini disebabkan karena Allah menginformasikan, bahwa waktu haji adalah bulan-bulan yang telah dimaklumi, kemudian Dia menafikan perselisihan tentang waktunya, dimana orang-orang Jahiliyah mempersengketakannya.
Berikut ini diriwayatkan sejumlah hadits dari Rasulullah SAW:
Dari Muhammad bin Al Mutsanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Wahab bin Jarir menceritakan padaku, ia berkata: Syu'bah menceritakan kepada kami dari Sayyar, dari Abu Hazim, dari Abu Hurairah, ia berkata:
Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ حَجَّ هَذَا الْبَيْتَ فَلَمْ يَرْفُتْ وَلَمْ يَفْسُقُ خَرَجَ مِثْلَ يَوْمٍ وَلَدَتْهُ أُمُّهُ
“Barangsiapa berhaji ke Baitullah ini dan tidak berlaku rafats serta fasiq, maka ia telah keluar sebagaimana ketika dilahirkan oleh ibunya.”
Penakwilan firman Allah: وَمَا تَفْعَلُوا مِنْ خَيْرٍ يَعْلَمُهُ اللَّهُ (Dan apa yang kalian kerjakan berupa kebaikan, niscaya Allah mengetahuinya)
Abu Ja'far berkata: Kerjakanlah wahai orang-orang yang beriman apa yang Aku perintahkan kepada kalian dalam ibadah haji yaitu menyempurnakan manasik kalian, dan jauhilah apa yang Aku hindarkan atas kalian yaitu berkata-kata keji dan berlaku fasik niscaya kalian akan memperoleh pahala yang besar, karena kebajikan apapun yang kalian kerjakan sesungguhnya Aku mengetahuinya dan akan memberikan balasannya, tidak ada sesuatu pun yang tersembunyi atas-Ku, sesungguhnya Aku Maha Mengetahui apa yang kalian sembunyikan dan apa yang kalian nyatakan.
Penakwilan firman Allah : وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى (Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baiknya bekal adalah taqwa)
Abu Ja'far berkata: Diriwayatkan, bahwa ayat ini diturunkan atas sekelompok orang yang pergi menunaikan ibadah haji tanpa membawa perbekalan, dimana sebagian mereka jika telah mengenakan pakaian ihram ia membuang perbekalannya dan mengambil perbekalan baru, maka Allah memerintahkan kepada mereka yang belum berbekal agar membawa bekal dalam perjalanannya, dan barangsiapa yang berbekal, maka hendaklah ia menjaga perbekalannya dan tidak membuangnya. Demikian seperti dijelaskan dalam riwayat-riwayat berikut:
Dari Al Husain bin Ali As-Suda'i menceritakan kepadaku, ia berkata: Amr bin Abdul Ghaffar menceritakan kepada kami, ia berkata: Muhammad bin Sauqah menceritakan kepada kami dari Nafi', dari Ibnu Umar, ia berkata: bahwa jika mereka memakai ihram, mereka lantas membuang perbekalan yang ada dan mengganti dengan perbekalan yang baru, maka turunlah firman Allah: وَتَزَوِّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى lalu mereka dilarang melakukan demikian dan diperintahkan agar berbekal kue, gandum dan tepung.
Dari Amr bin Ali menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Abi Uday menceritakan kepada kami dari Husyaim dari Al Mughirah dari Ibrahim ia berkata: ada sekelompok orang baduwi yang pergi menunaikan haji tidak mau membawa perbekalan, dan mengatakan: kami tawakkal kepada Allah, maka turunlah firman Allah : وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
Dari Muhammad bin Sa'd menceritakan kepada saya, ia berkata: bapakku menceritakan kepada saya, ia berkata: pamanku menceritakan kepada saya, ia berkata: Bapakku menceritakan kepada saya dari bapaknya, dari Ibnu Abbas : وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى ia berkata: ada sekelompok orang yang pergi meninggalkan keluarganya dan tidak membawa perbekalan seraya mengatakan: Adakah kami haji ke Baitullah lalu Dia tidak memberi kami makan? Maka Allah berfirman: Berbekallah dengan apa yang menjaga kehormatan kalian dari manusia.
Dari Al Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Ishaq menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Zuhair menceritakan kepada kami dari Juwaibir, dari Adh-Dhahhak : وَتَزَوَّدُواْ فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى dan sebaik-baik bekal dunia adalah yang memberikan kemanfaatan seperti pakaian, makanan dan minuman.
Abu Ja'far berkata: Jadi penawilan ayat ini; barangsiapa menetapkan dirinya untuk berhaji pada bulan-bulan haji lalu berihram, maka janganlah berlaku rafats dan fasiq, karena ritual haji telah lurus dan Tuhan telah menjelaskan batas dan miqatnya kepada kalian. Maka bertaqwalah kepada Allah dengan menunaikan perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya dalam ritual haji kalian. Karena kebaikan apapun yang kalian lakukan sesungguhnya Tuhan Mengetahui. Dan berbekallah dari makanan pokok kalian yang dapat mencukupi kebutuhan kalian selama menunaikan ibadah haji. Karena bukanlah sikap yang baik barangsiapa enggan membawa perbekalan lalu meminta-minta kepada orang lain, tetapi kebaikan itu sesungguhnya adalah dalam ketaqwaan kepada Allah, yaitu dengan menjauhi larangan-Nya dan melakukan perintah-Nya, dan itulah sebaik-baik perbekalan.
Sumber : At Thabari bag 3 hal 359 sd 416

Comments
Post a Comment