Sumber Gambar : Chat GPT
الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ ۖ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ ۗ وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ ۖ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ ۗ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا ۚ وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ
Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya. Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim.
Penakwilan firman Allah : الطَّلَاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَن (Talak [yang dapat dirujuk] dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik).
Abu Ja'far berkata: Ahli takwil berbeda pendapat tentang penakwilan ayat tersebut, sebagian mengatakan: dalil tentang jumlah talak yang diperbolehkan bagi suami untuk merujuknya kembali, dan menerangkan waktu iddah seorang istri dari suaminya. Sebab ayat ini diturunkan adalah: karena pada masa jahiliyah dan orang Islam sebelum turun ayat ini, talak tidak memiliki batas akhir yang menerangkan akhir wanita tersebut bisa dirujuk pada masa iddahnya. Sehingga Allah memberikan batasan di mana dengan habisnya talak tersebut laki-laki diharamkan untuk merujuk istrinya yang ditalak kecuali dia telah menikah dengan orang lain, dan seketika itu juga Allah menjadikan perempuan tersebut lebih berhak atas dirinya. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Ibnu Humaid menceritakan kepada kami, ia berkata: Jarir menceritakan kepada kami, dari Hisyam bin Urwah, dari bapaknya mengatakan: bahwa seorang laki-laki mentalak istrinya sesuai kemauannya, kemudian jika dia Merujuk istrinya sebelum masa iddahnya habis maka istrinya telah sah karenanya, seorang laki-laki dari Anshar marah kepada istrinya, kemudian dia berkata: aku tidak akan menggaulimu lagi dan kamu tidak akan halal dariku, dia bertanya: Apa yang kamu lakukan? Dia Berkata: aku mentalakmu, sehingga jika telah dekat waktumu aku rujuk kembali kemudian aku talak lagi, kemudian jika telah dekat masa habis iddahmu, aku rujuk lagi. Ia berkata: kemudian perempuan tersebut mengadu kepada Rasulullah SAW kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
الطَّلَاقُ رَتَانِ فَإِمْسَاكُ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَانِ Talak yang dapat dirujuk) dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik "
Dari Yunus menceritakan padaku, ia berkata: Ibnu Wahab memberitahukan kepada kami, ia berkata: Ibnu Zaid mengatakan dalam firman Allah : الطَّلَقُ مَرَرْتَانِ bahwa sebelum Allah menjadikan talak dengan tiga kali talak, tidak ada batasan meskipun seorang laki-laki mentalak istrinya seratus kali, kemudian jika dia ingin Merujuknya sebelum habis masa iddahnya maka dia akan kembali menjadi istrinya, dan laki-laki mentalak istrinya hingga istrinya hampir bebas mereka Merujuknya kembali. Kemudian setelah itu mentalak untuk menyakiti istrinya dengan cara meninggalkannya, hingga apabila sebelum habis masa iddahnya mereka Merujuknya kembali, dan hal itu dilakukan terus menerus. Ketika Allah mengetahui hal itu maka Allah menjadikan talak tersebut tiga kali talak, dua kali, kemudian setelah kedua kalinya; hendaklah dia Merujuknya dengan cara yang ma'ruf atau menceraikannya dengan cara yang baik.
Penakwilan firman Allah : فَإِمْسَاكُ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَانِ (Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik).
Ada perbedaan tentang makna dan takwil ayat ini di kalangan ahli takwil. Sebagian mengatakan: bahwa yang dimaksud oleh Allah dalam ayat ini adalah dalil tentang kewajiban bagi suami-suami wanita yang ditalak dengan talak dua setelah mereka dirujuk oleh suami mereka untuk memperlakukan mereka dengan ma'ruf atau menceraikanya dengan jalan yang baik. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Al Qasim menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Husain menceritakan kepada kami, ia berkata: Hajjaj menceritakan kepadaku, dari Ibnu Juraij, ia berkata: aku telah mengatakan kepada Atha': apakah talak itu dua kali? Ia berkata: dia mengatakan tentang talak yang ketiga: hendaklah dia merujuknya kembali dengan jalan yang ma'ruf atau menceraikannya dengan jalan yang baik. Dan yang sependapat dengannya berkata: Mujahid berkata: laki-laki lebih berhak atas istri dari yang lainnya pada talak yang kedua, jika dia mengucapkan talak yang ketiga maka tidak ada jalannya, dan hendaknya dia beriddah untuk menikah lagi dengan orang lain.
Pendapat yang lainnya mengatakan: bahwa yang dimaksud oleh Allah adalah dalil tentang apa yang wajib bagi mereka terhadap istri setelah talak kedua yang berupa rujuknya mereka dengan cara yang ma'ruf atau menceraikannya dengan baik, dengan cara tidak Merujuknya sampai habis masa iddahnya, sehingga mereka lebih berhak atas diri mereka sendiri. Mereka mengingkari pendapat pertama yang mengatakan bahwa ayat tersebut adalah dalil talak yang ketiga. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Musa menceritakan kepadaku, ia berkata: Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada kami, dari As-Suddi tentang firman Allah: فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفِ أَوْ تُسْرِيحٌ بِإِحْسَنِ jika mentalaknya dengan talak satu atau dua, hendaklah dia Merujuk kembali dengan jalan yang ma'ruf, atau diamkannya sampai habis masa iddahnya sehingga wanita tersebut lebih mampu atas dirinya.
Abu Ja'far berkata: Jika ada yang mengatakan: apakah yang dimaksud "merujuk dengan cara yang ma'ruf."?
Jawabannya adalah sebagaimana riwayat berikut:
Dari Ali bin Abdul A'la Al Muharibi menceritakan kepada kami, ia berkata: Abdurrahman bin Muhammad Al Muharibi menceritakan kepada kami, dari Juwaibir, ia berkata: dari Adh-Dhahhak tentang firman Allah: فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفِ "Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf المعروف adalah memperlakukan istri dengan baik.
Jika ada yang mengatakan: apakah yang dimaksud "menceraikan dengan jalan yang baik"?
Jawabannya adalah sebagaimana riwayat berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan kepada kami, ia berkata: Abu Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu'awiyah menceritakan padaku, dari Ali, dari Ibnu Abbas: أَوْ تَسْرِيحُ بِإِحْسَنِ dikatakan: menceraikannya, dan jangan menzhalimi hak mereka sedikitpun.
Dari Muhammad bin Sa'd menceritakan padaku, ia berkata: Bapakku menceritakan kepada kami, ia berkata: Pamanku menceritakan kepada kami, ia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dari bapaknya, dari Ibnu Abbas: أو تَسْرِيحُ بِإِحْسَنِ "Atau menceraikan dengan cara yang baik" ia berkata: itu adalah hubungan yang kuat.
Dari Musa menceritakan padaku, ia berkata: Amr menceritakan kepada kami, ia berkata: Asbath menceritakan kepada kami, dari As-Suddi: أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانِ "Atau menceraikan dengan cara yang baik" ia berkata: الإحسان memberikan arti haknya, dan tidak menyakitinya serta tidak mencelanya.
Penakwilan firman Allah: وَلَا يَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا ءَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلَّا أَنْ يَخَافَا أَلَّا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ Tidak Halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah).
Abu Ja'far berkata: Maksud Allah dalam ayat وَلَا تَحِلُّ لَكُمْ أَن تَأْخُذُوا مِمَّا وَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka" adalah wahai kaum laki-laki tidak halal bagi kalian untuk mengambil sesuatu dari istri-istri kamu
jika ingin mentalak dan berpisah dengan mereka berupa mahar yang telah kamu berikan kepada mereka, akan tetapi yang wajib bagi kalian adalah menceraikannya dengan jalan yang baik, karena hal itu untuk menjaga hak-hak mereka dari mahar dan perbekalan dan yang lainnya yang wajib bagi kalian atas mereka, kecuali jika keduanya takut tidak bisa menegakkan hukum Allah.
Jika ada yang bertanya: keadaan yang bagaimanakah yang mereka takutkan karena tidak dapat menegakkan hukum Allah sehingga dibolehkan bagi laki-laki untuk mengambil apa yang telah mereka berikan kepada istri mereka? Jawabannya: dalam keadaan nusyuz dan munculnya kebencian kepada suami mereka, sehingga takut untuk tidak taat kepada Allah yaitu memenuhi kewajiban yang menjadi hak suami mereka, dan takut untuk tidak dapat menunaikan hak-hak suami, dan hal itu ketika keduanya takut untuk tidak dapat mempercayai hukum Allah. Dan keadaan di mana Nabi SAW membolehkan kepada Tsabit bin Qais bin Syamsy ketika mengambil apa yang telah diberikan kepada istrinya adalah karena istrinya membencinya, sebagaimana riwayat berikut:
Dari Muhammad bin Abdul A'la menceritakan kepada kami, ia berkata: Al Mu'tamir bin Sulaiman menceritakan kepada kami, ia berkata: Aku membacanya kepada Fudhail, dari Abu Jarir bahwa dia bertanya kepada Ikrimah: Apakah khulu 'ada landasannya? Ia berkata: Ibnu Abbas mengatakan: bahwa pertama kali yang melakukan khulu' dalam Islam adalah saudara perempuan Abdullah bin Ubai, bahwa dia mendatangi Rasulullah dan berkata: "Ya Rasulullah, kepalaku tidak akan bertemu dengan kepalanya selamanya, kemudian aku melihat sisi yang tersembunyi maka aku menemukan dia adalah orang yang paling hitam, paling pendek dan paling jelek wajahnya." Suaminya berkata: “Ya Rasulullah telah aku berikan kepadanya hartaku yang paling baik, yaitu kebun, hendaknya dia mengembalikannya ke tempat tidurnya.” Nabi SAW bersabda : “Bagaimana ekosistemnya?” Dia menjawab: "Ya, dan jika dia mau aku tambah." Perawi berkata: “Maka keduanya pun diceraikan.”
Abu Ja'far berkata: Menurut riwayat ayat ini turun tentang keduanya, yakni; Tsbait bin Qais dan istrinya.
Ahli takwil berbeda pendapat tentang makna: jika keduanya takut tidak akan mampu menegakkan hukum Allah. Sebagian dari mereka mengatakan: perempuan tersebut menampakkan kejelekan akhlak dan perlakuan kepada suaminya, jika muncul dari pihak istri kepada suaminya maka halal baginya untuk mengambil apa yang telah mereka berikan kepada istri mereka sebagai tebusan atas perceraian tersebut. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Ali bin Abi Daud menceritakan kepada saya, ia berkata: Abu Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu'awiyah menceritakan kepada saya, dari Ali bin Abi Thalhah, dari Ibnu Abbas وَلَا تَحِلُّ لَكُمْ أن تَأْخُذُوا مِمَّا وَاتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا "Tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka" kecuali jika nusyuz dan akhlak yang jelek itu muncul dari pihak ibu, yang menyebabkan dia membayar sebagai tebusan dari kamu, maka tidak dosa bagimu untuk mengambil apa yang mereka jadikan sebagai tebusan atas diri mereka.
Dari Ya'qub menceritakan padaku, ia berkata: Ibnu Aliyah menceritakan kepada kami, ia berkata: Ibnu Juraij mengatakan: Hisyam bin Urwah memberitahukan padaku, bahwa Urwah mengatakan: tidak dihalalkan tebusan tersebut kecuali jika kerusakan itu dari pihak istri, dan Urwah tidak mengatakan: tidak halal sampai dia mengatakan: aku tidak akan memenuhi hakmu dengan baik, dan tidak akan mandi junub bagi kamu (tidak mau digauli).
Pendapat yang lain mengatakan: akan tetapi yang dimaksud dengan takut adalah tidak mau memenuhi haknya dengan baik, tidak menaati perintahnya, dan dia mengatakan aku tidak akan mandi junub dari kamu (tidak mau digauli), maka menurut mereka dibolehkan untuk mengambil apa yang telah diberikan kepada mereka karena perceraian tersebut. Berdasarkán riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Muhammad bin Abdul A'la menceritakan padaku, ia berkata: Al Mu'tamir bin Sulaiman menceritakan kepada kami, dari bapaknya, ia berkata: Al Hasan mengatakan: jika perempuan mengatakan: aku tidak akan mandi junub dari kamu, dan tidak akan memenuhi hakmu dengan baik, dan tidak akan menaati perintahmu, maka ketika itu dibolehkan khulu'.
Dari Muhammad bin Basysyar menceritakan padaku, ia berkata: Abdul A'la menceritakan kepada kami, ia berkata: Sa'id menceritakan kepada kami, dari Qatadah, dari Al Hasan berkata: Jika seorang perempuan mengatakan kepada suaminya: Aku tidak akan memenuhi hakmu dengan baik, tidak akan menaati perintahmu, dan tidak akan mandi junub karena kamu (tidak mau digauli), dan tidak akan menjalankan hukum-hukum Allah, maka telah halal hartanya bagi suaminya
Pendapat yang lain mengatakan bahwa takut yang dimaksud adalah: dia memulai dengan lisannya perkataan bahwa dia membenci suaminya, sebagaimana disebutkan dalam riwayat berikut:
Dari Muhammad bin Abdullah bin Abdul Hakam Al Mashri menceritakan kepada kami, ia berkata: Bapakku dan Syu'aib bin Al-Laits menceritakan kepada kami, dari Al-Laits, dari Ayyub bin Musa, dari Atha' bin Abi Rabah mengatakan: dihalalkan khulu 'jika perempuan itu mengatakan kepada suaminya: aku membencimu dan tidak mencintaimu, dan aku takut tidur di sampingmu padahal tidak bisa memenuhi hakmu, dan akan baik jika melakukan khulu'.
Pendapat lain mengatakan: dibolehkan bagi suami untuk mengambil tebusan ketika keduanya takut tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah, karena kebencian masing-masing di antara keduanya. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Humaid bin Mas'adah menceritakan kepada kami, ia berkata: Bisyr bin Mifdhal menceritakan kepada kami, ia berkata: Daud dari Amir, dan juga Ya'qub menceritakan kepadaku, ia berkata: Ibnu Aliyah menceritakan kepada kami, dari Daud, ia berkata: Ibnu Aliyah menceritakan kepada kami, dari Daud berkata: Amir berkata: dihalalkan bagi suami dari harta istrinya karena perbuatan nusyuz keduanya.
Abu Ja'far berkata: Pendapat yang lebih utama kebenarannya adalah mereka yang mengatakan: tidak dihalalkan bagi seorang laki-laki untuk mengambil tebusan dari istrinya atas perceraiannya, kecuali adanya kekhawatiran dalam diri mereka tidak mampu melaksanakan apa yang diwajibkan kepada mereka berupa hak di antara keduanya, sebagaimana yang telah kami riwayatkan dari Thawus, Al Hasan, dan mereka yang mengikuti pendapat keduanya, karena ketika Allah membolehkan untuk mengambil tebusan dari istri adalah disebabkan adanya kekhawatiran dari kaum muslimin bahwa keduanya tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah.
Penakwilan firman Allah: فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمًا حُدُودَ اللَّهِ (Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah)
Abu Ja'far berkata: Ahli takwil berbeda pendapat tentang penakwilan firman Allah :
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمًا حُدُودَ اللَّهِ
"Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah" jika suami dan istri khawatir tidak mampu menegakkan hukum-hukum Allah maka dihalalkan bagi suami untuk menerima tebusan, dikarenakan kekhawatiran atas perbuatan keduanya. Sebagian mengatakan: perbuatan meremehkan hak suami yang dilakukan seorang istri dan kurangnya ketaatan kepada suami, serta perkataannya yang menyakitkan. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Al Mutsanna menceritakan kepadaku, ia berkata: Abdullah bin Shalih menceritakan kepada kami, ia berkata: Mu'awiyah menceritakan kepadaku, dari Ali, dari Ibnu Abbas mengenai ayat: فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمًا حُدُودَ اللَّهِ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ
Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya" ia berkata: tidak menegakkan hukum-hukum Allah, meremehkan hak suami, akhlak yang buruk, hingga dia mengatakan kepada suaminya: "Demi Allah aku tidak akan memenuhi hakmu dengan baik, tidak mau digauli, dan aku tidak akan menaati perintahmu", jika dia telah melakukan hal itu maka telah halal baginya untuk mengambil tebusan dari istrinya.
Pendapat lain mengatakan: jika kalian takut tidak mampu untuk taat kepada Allah. Berdasarkan riwayat-riwayat sebagai berikut:
Dari Sufyan bin Waki' menceritakan kepada kami, ia berkata: Bapakku menceritakan kepada kami dari Israil dari Amir: فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا يُقِيمًا حُدُودَ اللَّهِ "Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah" keduanya mengatakan: tidak taat kepada Allah.
Abu Ja'far berkata: Jika kalian takut tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah berupa kewajiban dan hak yang telah Allah tetapkan kepada keduanya untuk memperlakukan di antara keduanya dengan ma'ruf dan baik, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.
Dan termasuk di dalamnya apa yang kami riwayatkan dari Ibnu Abbas, Asy-Sya'bi dan apa yang kami riwayatkan dari Al Hasan Az-Zuhri karena kewajiban seorang perempuan terhadap suaminya adalah mentaatinya terhadap apa yang Allah perintahkan untuk taat kepadanya, dan agar tidak menyakitinya dengan ucapan, dan bersegera jika dipanggil untuk suatu keperluan, jika istri menyalahi apa yang Allah perintahkan dalam hal ini maka dia telah menyia-nyiakan hukum Allah yang seharusnya ia laksanakan dengan baik.
Sedangkan arti dari menegakkan hukum Allah yaitu mengamalkan, menjaga, dan tidak menyia-nyiakannya. Juga, telah kami terangkan maknanya pada bab yang lalu dalam kitab kami ini dan dalil yang membenarkannya.
Penakwilan firman Allah : فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا أَفْتَدَتْ بِهِ (Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya).
Abu Ja'far berkata: Maksud Allah dalam ayat tersebut adalah: wahai orang-orang mukmin jika kamu takut kedua suami istri tersebut tidak akan mampu menegakkan hak yang telah Allah tetapkan bagi keduanya, dan kalian takut atas keduanya untuk menyia-nyiakan hukum Allah dan melampaui batas-batasnya maka tidak ada dosa bagi keduanya untuk mengambil bayaran dari istri sebagai tebusan bagi dirinya, dan tidak ada dosa bagi keduanya terhadap apa yang diberikan oleh istri karena perceraian dalam pernikahan dengannya dan terhadap apa yang diambil dari istri sebagai ganti rugi.
Jika ada yang mengatakan: Apakah dosa bagi perempuan terhadap bayaran sebagai tebusan bagi dirinya jika kerugian itu disebabkan oleh suami? Maka maknanya tidak ada dosa mereka terhadap apa yang dia berikan kepada suami berupa tebusan atas perceraiannya, jika nusyuz dari pihak perempuan? Jawabannya adalah: jika pada waktu itu kerugian itu mengetahui istri bahwa maksud kerugian adalah untuk mengambil apa yang diberikan oleh istri dan bahwa kerugian itu adalah untuk mengambil darinya dengan jalan yang Allah haramkan untuk mengambilnya, kemudian dia sanggup mencegah untuk tidak memberikan kepadanya dengan tidak membahayakan terhadap diri, agama dan haknya maka tidak halal baginya untuk memberikan kepadanya, kecuali karena kebaikan hatinya dalam pemberian tersebut, karena ketika dia memberikan apa yang tidak halal untuk mengambil darinya, sedangkan dia mampu untuk mencegahnya dengan tidak membahayakan diri, agama dan hak yang dikhawatirkan akan hilang maka dia telah ikut berbuat dosa dengan memberikan apa yang tidak berhak baginya untuk mengambilnya sebab pemberian istri tersebut kepada suaminya.
Oleh karena itu menghapuskan dosanya jika nusyuz itu darinya, dengan memberikan apa yang dia berikan berupa tebusan dengan kebaikan hati, dengan harapan untuk mencari keselamatan dirinya dan keselamatan suami dari dosa, dan istri jika memberikannya dengan kebaikan hati maka dia berhak untuk mendapatkan balasan dan pahala daripada mendapatkan dosa. oleh karena itu Allah berfirman : فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا "Maka tidak ada dosa atas keduanya" dan penghapusan dosa darinya terhadap apa yang dia berikan kepada suaminya dengan jalan ini (kebaikan hati) yang berupa tebusan atas perceraiannya, dan dihilangkannya dosa dari suami terhadap apa yang dia dapatkan dengan jalan yang benar, sesuai yang kami terangkan, dan bahwa dia mengambil dari istrinya dengan tanpa merugikannya, tetapi akan mencari keselamatan bagi dirinya dan istrinya dalam agamanya dan kehati-hatian mereka dari dosa.
Penakwilan Firman Allah تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا وَمَن يَتَعَدَّحُدُودَ اللَّهِ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka itulah orang-orang yang zalim)
Abu Ja'far berkata: Yang dimaksud oleh Allah dalam ayat ini: wahai
manusia itulah tanda dan batasan-Nya, antara apa yang Allah halalkan dan apa yang diharamkan kepada kamu sekalian, maka janganlah kamu melampaui apa yang Allah halalkan dari perkara yang telah Allah terangkan kepadamu, kepada apa yang Allah haramkan, sehingga kalian melampaui dari ketaatan kepada Allah menuju kemaksiatan kepadanya.
Dan bahwa Allah mengingatkan dalam firman-Nya: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا "Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya" dan hal-hal yang telah Aku terangkan kepadanya dalam ayat yang telah lalu ini yang berupa melahirkan wanita musryik, menikahkan wanita muslimah dengan laki-laki musryik, menggauli wanita pada masa haid dan apa yang telah kami terangkan dalam ayat yang lalu sebelum firman Allah: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ "Itulah hukum-hukum Allah" adalah termasuk apa yang Allah haramkan dan halalkan, dan apa yang dibatasi dan dilarang. Kemudian Allah berfirman kepada mereka: Perkara yang telah Aku terangkan kehalalannya dan keharamannya adalah batasan-batasan-Ku, yakni: batasan dan tanda antara ketaatanku dan kemaksiatan ku, maka janganlah kamu melampuinya, Dia berkata: Maka janganlah kamu melewati apa yang telah Aku halalkan kepada apa yang telah Aku haramkan dan apa yang Aku perintahkan kepada apa yang Aku larang, dan dari ketaatan kepada-Ku kepada kemaksiatan kepada-Ku, karena siapa yang melanggar semua-yaitu melampui batas- yang telah Aku haramkan kepada mereka dan telah Aku larang, maka dia telah berbuat zhalim, dan dia telah melakukan pekerjaan yang tidak semestinya dia lakukan, dan menaruh sesuatu tidak pada tempatnya.
Telah kami terangkan tentang makna kezhaliman dengan asal usulnya dan dalil yang menerangkan artinya, yang tidak perlu kami ulang dalam bab ini.
Apa yang telah kami katakan dalam penakwilan ayat tersebut telah disampaikan oleh Ahli takwil meskipun ada perbedaan lafazh dalam penakwilan hanya saja maknanya sama. Sebagaimana riwayat berikut:
Dari Muhammad bin Sa'd menceritakan kepadaku, ia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, ia berkata: Pamanku menceritakan kepadaku, ia berkata: Bapakku menceritakan kepadaku, dari bapaknya dari Ibnu Abbas tentang firman Allah: تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَعْتَدُوهَا “Itulah hukum-hukum Allah, maka janganlah kamu melanggarnya" yakni الحدود adalah ketaatan.
Abu Ja'far berkata: Apa yang dikatakan oleh Adh-Dhahhak tidak ada maknanya dalam ayat ini, karena tidak ada dalam talak menyebut jumlah, sehingga dikatakan : تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ akan tetapi menyebutkan kata jumlah tentang talak yang boleh dirujuk dan talak yang tidak boleh dirujuk tanpa menyebutkan keterangan tentang talak untuk 'iddah.
Sumber : Tafsir At Thabari bag 3 821 hal sd 868

Comments
Post a Comment