Biografi Muhammad Ibnu Jarir At Thabari ( Mufasir Qur'an Tafsir At Thabari )

 


Muhammad Ibnu Jarir At Thabari 


Akhir akhir ini sering buku baca tafsir Al Qu'ran At Thabari, banyak hal hal baru yang diceritakan buku tersebut. Siapakah At Thabari ?. izinkan kami menukil tulisan mengenai At Thabari dari buku Tafsirnya.


Nama lengkapnya Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Abu Ja'far. Lahir di kota Amul (kota terbesar di Tabarstan). Sebenarnya banyak ulama yang lahir di kota ini, namun mereka tidak mengkaitkan dirinya dengan beliau, melainkan mengkaitkan dirinya dengan “Tabarstan”, termasuk Imam Ath-Thabari.

Mayoritas sejarawan mengatakan bahwa imam ini dilahirkan pada tahun 224 H. Namun sebagian dari mereka mengatakan bahwa ia dilahirkan pada akhir tahun 224 H, dan sebagian yang lain mengatakan bahwa ia dilahirkan pada awal tahun 225 H." Pendapat ini dinisbatkan kepada muridnya yang bernama Al Qadhi Ibnu Kamil yang menceritakan bahwa suatu hari ia pernah menanyakan hal itu kepada gurunya, yakni Ath-Thabari. Ia bertanya, "Bagaimana Anda bisa ragu dalam masalah ini?" Thabari menjawab, "Karena penduduk negeri kami biasanya menetapkan tanggal kelahiran seseorang sesuai dengan kejadian tertentu dan bukan dengan tahun, maka tanggal lahirku pun ditetapkan sesuai dengan kejadian yang terjadi di negeri kami pada saat itu. Setelah dewasa, aku bertanya-tanya mengenai kejadian tersebut, namun orang-orang menjawabnya dengan berbagai versi yang berbeda-beda. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi pada akhir tahun 224 H, dan sebagian yang lain mengatakan awal tahun 225 H.""

Ayahnya tergolong orang yang berada dan dikenal sebagai pecinta ilmu dan ulama, ia pun senantiasa memotivasi dan mensupport puteranya untuk menuntut ilmu. Ath-Thabari pun menuruti perintah ayahnya dengan senang hati, lalu mulailah tampak tanda-tanda kecerdasan dan kepiawaiannya sejak awal menuntut ilmu. Ath-Thabari pernah menegur salah seorang muridnya yang bernama Ibnu Kamil karena melarang anaknya yang baru berusia sembilan tahun untuk mempelajari ilmu hadits dengan alasan usianya masih terlalu dini untuk tingkatan ilmu ini. Ketika Thabari mengetahui hal tersebut, ia pun menegurnya dan mengatakan, "Aku telah hafal Al Qur'an ketika umurku tujuh tahun, menjadi imam shalat ketika umurku delapan tahun, dan menulis hadits di usia sembilan tahun."

Tanda-tanda kegembiraan (baca; kebaikan) yang dilihat ayahnya dalam mimpinya menambah semangatnya untuk mencari ilmu. Thabari berkata, “Ayahku pernah bermimpi bahwa aku berada di hadapan Rasulullah, dan di tanganku ada tas yang penuh dengan batu dan aku melemparkannya ke hadapan beliau.

Ahli ta'bir pun mengatakan kepadanya bahwa kelak ketika dewasa, ia akan menjadi seorang alim yang mengabdi kepada agamanya. Syahdan, setelah mendengar penjelasan mimpi tersebut, ayahku pun bertambah semangat dan memberikan dorongan penuh untuk menuntut ilmu, padahal waktu itu aku masih sangat belia

 Mula-mula Thabari menuntut ilmu di tanah kelahirannya sendiri, yaitu Amul Kemudian ia pindah ke negeri tetangga dan mencari para ulama guna menimba ilmu dari mereka. la pun mengerahkan seluruh kemampuannya, mulai dari mendengar penuturan guru secara langsung, menghafalnya, hingga membukukannya.

Kerja keras Thabari dalam mencari ilmu pernah diriwayatkan sebagai berikut, “Kami pernah menulis kepada Muhammad bin Humaid Ar-Razi, lalu beliau menemui kami beberapa kali dalam satu malam dan menanyakan apa yang kami tulis, lalu beliau mengulangi bacaannya kepada kami.”

Thabari berkata, "Kami pemah menemui Ahmad bin Hamad Ad-Dulabi, ia tinggal di sebuah daerah di Ray (sebuah kota di Persia), yang berjarak cukup jauh, kami menyeberang daerah perairan beberapa jauh layaknya or- ang yang tidak waras, hingga kami sampai di tempat Ibnu Humaid dan mendapati majelisnya."

Sebagaimana halnya tradisi para ulama sejak masa para sahabat dan tabi'in, Thabari pun mengembara ke beberapa negeri lainnya guna menuntut ilmu. Ia mengembara ke Baghdad untuk mendengar penuturan dari para ulama disana, dan dalam hati ia sangat ingin mendengar langsung dari Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (241 H), namun hal itu tidak terwujud karena imam Ahmad terlebih dahulu meninggal dunia sebelum Thabari sampai ke kota Baghdad. 

Ini menjadi bukti betapa tingginya semangat Thabari dalam menuntut ilmu, padahal waktu itu ia baru berusia tujuh belas tahun, namun semangatnya yang senantiasa membara mengalahkan jauhnya perjalanan, sulitnya hidup di rantau dengan perbekalan yang seadanya." Ini semua dilakukan oleh Thabari semata-mata ingin mencapai apa yang pernah diimpikan oleh ayahnya, yaitu berkedudukan mulia dalam agama yang menuntutnya harus banyak memiliki ilmu pengetahuan, perbekalan dan kesabaran. Dan, hal ini tidak akan terwujud kecuali dengan menemui para ulama serta bersabar dengan kondisi yang ada, yang mungkin saja diantara mereka ada yang berwatak keras atau hanya memiliki waktu yang sangat sempit.

Setelah berguru di Bashrah, Thabari berguru di Kufah kepada guru yang lain, yakni syaikh Abu Kuraib Muhammad bin Ala' Al Hamdani (243 H). la tergolong guru yang perlakuannya sangat keras terhadap para muridnya, hingga banyak diantara mereka yang tidak dapat menyelesaikan proses belajar di majelisnya. Thabari pun merasa khawatir tidak sanggup menyelesaikan halaqah di majelisnya, namun ia bertekad untuk maju ke "medan laga" dan tidak bersikap pengecut. Thabari mengisahkan, "Aku mendatangi pintu rumahnya bersama beberapa ahli hadits, tiba-tiba ia keluar dari pintu rumahnya. Kami pun meminta izin untuk masuk, namun ia mengatakan, "Siapa diantara kalian yang hafal apa yang pernah ia tulis dariku?" kami pun memandang antara satu dengan yang lain, kemudian mereka memandangiku dan mengatakan, Apakah kau hafal apa yang kau tulis darinya?' Aku menjawab, "Ya." Maka mereka pun berseru, "Orang ini hafal, tanyalah dia." Maka aku pun berkata, "Tuan pernah meriwayatkan kepada kami masalah ini pada hari ini, dan masalah ini pada hari ini.' Mendengar penjelasan itu, Abu Kuraib terus menanyakan beberapa hal kepadanya hingga ia pun mengakui kehebatannya dan mengatakan kepadanya, "Silakan, kau masuk ke rumahku." Dan ia pun mengagungkannya, padahal usianya masih muda, serta memperkenankannya menyimak pelajaran lainnya.

Dalam rangka mencari ilmu, imam Ath-Thabari tidak cukup hanya dengan usaha yang keras dan sabar, akan tetapi ia dinilai sebagai sosok yang jujur, ikhlas, zuhud, wara' dan amanah. Hal ini terlihat dari karyanya, yakni kitab Adab An-Nufus. la meninggalkan gemerlap kehidupan dunia dan tidak mencari kenikmatan yang ada padanya. 

Apa yang ditulisnya dalam buku ini tentang moral dan kesucian jiwa merupakan pengalaman pribadinya selama ia mengembara mencari ilmu. Di mana sifat-sifat terpuji tersebut terpatri dalam dirinya dan menyatu dalam kehidupannya, sehingga menjadi tabiat yang kuat dan kokoh. Berapa banyak. orang yang mengaku zuhud, wara', pemberani, dan lainnya, namun dalam realitanya ia nampak dengan karakter yang sebenarnya. Adapun orang yang ikhlas dan jujur, tidak akan goyah sedikit pun dalam kondisi apapun. 

Diantaranya adalah Imam Ath-Thabari yang dengan ilmunya pantas mendudukkannya pada deretan para penguasa dan orang kaya, namun ia enggan melakukannya dan lebih memilih balasan dari Allah Ta'ala. la pernah ditawarkan jabatan dalam pemerintahan, namun ia menolaknya. Ia pernah diberi hadiah oleh penguasa, namun ia enggan menerimanya. Demikianlah Ath-Thabari, ia lebih memilih hidup yang kekurangan daripada hidup berlebihan.

Sisi khusus kehidupan Thabari ini dicatat oleh para sahabat dan ulama lain pada masanya, mereka berkata, “Tidak ada seorang pun di antara ulama yang mengingkari tingginya ilmunya, asketismenya di dunia dan sifat qana 'ahnya dengan sedikit harta yang diterimanya dari peninggalan ayahnya di Tabarstan. Ketika Al Khaqani menjabat sebagai menteri, ia mengirimkan sejumlah harta kepadanya, namun ia enggan menerimanya. Ia pun ditawari untuk menduduki jabatan qadhi, namun ia menolaknya. Ketika itu para sahabatnya mengeluh dan mengatakan kepadanya, "Anda mendapat pahala dengan menduduki posisi ini dan Anda dapat menghidupkan Sunnah yang telah Anda pelajari." Mereka sangat berantusias agar Thabari mau menerima jabatan tersebut. Namun Thabari malah menghardik dan mengatakan, "Aku pikir jika aku menerima posisi ini, kalian justru akan melarangku!"

Suatu ketika sang menteri memintanya untuk membuat sebuah buku tentang fiqih, maka ia pun mengarang Kitab Al Khafif untuknya, dan dikirimlah untuknya uang seribu Dinar sebagai hadiah, namun ia menolaknya."

Kisah-kisah ini membuktikan bahwa sifat zuhud, wara' dan gana'ah telah terpatri dalam diri Thabari, dimana ia merasa sangat takut mengkonsumsi makanan yang haram atau syubhat. Ia takut jika menjabat sebagai qadhi akan berlaku tidak adil hingga dapat menodai kesucian ilmu dan kehormatan dirinya. Sebagian orang mungkin senang memangku jabatan dalam pemerintahan karena memperoleh harta dan kedudukan, namun orang-orang shalih seperti Thabari justru merasa takut dan menjauhinya karena takut kepada Allah Ta'ala.

Demikianlah Thabari enggan menerima harta dan kedudukan, bahkan enggan menerima jabatan yang berkaitan dengan kapasitas keilmuannya semata-mata karena takut terjerumus dalam jurang kehancuran. Mungkin berusaha berlaku adil, namun ada sesuatu yang menghalanginya, atau berusaha menghindar dari tindak aniaya, namun malah terjerumus ke dalamnya tanpa sengaja. Oleh karenanya Thabari dan ulama sekelasnya lebih memilih menjauh dan tidak menerima jabatan yang berat semacam ini. Dalam hal ini ia memiliki contoh yang baik dari para salaf shaleh seperti Abu Hanifah, Malik, Syafi'i dan lain-lain.

Thabari terus menekuni pola kehidupan zuhud dan berhati-hati, sampai ketika dalam kondisi terpaksa yang harus dijalaninya, ia tidak lupa membatasi dirinya, yaitu mengambil apa yang menjadi haknya dan menolak yang lebih dari itu meskipun halal. Ketika Thabari masuk ke kota Baghdad, pada salah satu perjalanannya ke kota ini, ia membawa sejumlah barang perbekalan lalu dicuri orang maka ia pun terpaksa menjual beberapa helai pakaiannya. Lalu salah seorang sahabatnya menawarkan padanya untuk memberi pelajaran khusus (privat) kepada anak-anak salah seorang menteri, dan ia pun menyetujuinya dengan sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan waktu belajar, ibadah dan istirahatnya. Lalu ia meminta sejumlah uang kepada menteri sebagai pinjaman yang harus dikembalikan dan bukan sebagai hadiah atau pemberian.

Setelah disepakati, Thabari pun mulai mengajar dengan sangat optimal sampai sang menteri merasa puas dan gembira dengannya. Ia pun diberi hadiah yang sangat banyak, namun semua itu ditolaknya dan mengatakan, "Aku telah menetapkan syarat tertentu, dan aku tidak akan mengambil yang lebih dari itu." Dalam kesempatan lain ketika mereka meminta agar menerima hadiah tersebut dan menyedekahkannya, ia pun menolak dan mengatakan, "Kalian lebih membutuhkannya dan lebih mengetahui kepada siapa selayaknya disedekahkan."

Demikianlah sosok imam Thabari yang mulia, wara', qana'ah dan pemurah hingga dalam kondisi sangat membutuhkan. Syair-syair yang ditulisnya berikut ini menunjukkan kebenaran hal tersebut, ia melantunkan:

Jika aku mengalami kesusahan, maka temanku tidak mengetahuinya, karena aku merasa cukup maka temanku pun tidak memerlukannya Rasa maluku menjaga kehormatanku, dan sedikitnya kebutuhan menjadi teman seriaku Kiranya aku berkenan mengorbankan kehormatanku, niscaya jalan kekayaan sangatlah mudah bagiku

Lalu dia meneriakkan:

Dua perilaku yang aku tidak sukai, sombongnya kekayaan dan

penghinaan terhadap kemiskinan

Jika kamu orang kaya maka jangan sombong, dan jika kamu miskin maka jangan rendah hati


Demikianlah Thabari melengkapi dirinya dengan ilmu dan perilaku, sehingga pantas menjadi guru dalam berbagai disiplin ilmu. Kehebatannya telah diakui oleh emua orang, bahkan sebagian mereka menyebutnya dengan mengatakan, "la adalah orang yang paling baik pemahamannya terhadap ilmu, paling tekun belajarnya dan paling baik cara mengajarnya. "

Thabari layak menyandang predikat kesempurnaan seperti halnya ulama lainnya. Diantara etika beliau dalam mengajar adalah menghindari sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang pembelajar ilmu sampai akhir hayatnya. Ia dikenal sangat bersungguh-sungguh dalam segala hal dan berusaha semaksimal mungkin bersikap adil dan bijaksana dalam kumpulan ilmunya.

la tidak suka membedakan antara satu muridnya dengan yang lainnya, dimana ada salah seorang muridnya yang ingin diajari secara khusus, namun ditolaknya kendatipun murid itu sangat dicintainya. Thabari tidak suka melebihkan seseorang dari yang lain dalam masalah ilmu, dan inilah sifatnya. la enggan menyampaikan pelajaran dalam majelisnya apabila salah seorang muridnya tidak hadir, dan jika ada yang meminta diajari lalu tidak hadir, maka ia tidak akan mengajarinya sampai datang kembali, kecuali tentang fatwa, kapan saja ditanya ia langsung menjawabnya. Hal ini secara sekilas seperti hadiah bagi yang tidak hadir dan hukuman bagi yang hadir, namun sebenarnya tidak demikian, ia hanya bermaksud agar semua muridnya merasa bertanggung jawab dengan sesama saudaranya. Di samping itu hal ini juga menunjukkan perhatian yang sangat besar dari seorang guru terhadap para muridnya. Jika Thabari enggan menerima uang dan pemberian harta dari para pejabat, maka terlebih lagi terhadap para muridnya yang miskin, sedikitpun ia tidak memungut biaya dari mereka, padahal waktu itu para ulama tidak memiliki gaji dan penghasilan yang tetap untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan keluarganya. Sebagian orang sangat mudah menerima pemberian dari orang lain, terlebih ketika dalam kondisinya sangat membutuhkan, namun tidak demikian halnya dengan Thabari. Seperti yang diceritakan bahwa Abul Faraj Al Asfahani pulang-pergi belajar dari imam Thabari, lalu pada suatu ketika Thabari mencari tikar untuk tempat duduknya, maka masuklah Abul Faraj mengukur tempat tersebut dan memberinya sebuah tikar dengan harapan dapat menyenangkan hati Thabari, namun ketika keluar dipanggilnya putera Abul Faraj itu dan diberinya uang empat dinar, maka ia pun menolaknya, namun Thabari enggan mengambil tikar tersebut kecuali dengan imbalan harga yang diberikan.

Kendatipun sedemikian tinggi kedudukan Ath-Thabari, namun ia tidak segan mengajak para sahabatnya untuk bermusyawarah tentang majelis ilmunya. Sebagaimana diceritakan bahwa suatu ketika ia bertanya kepada para sahabatnya, "Apakah kalian siap untuk menafsirkan Al Qur'an?" Mereka berkata, "Berapa tebalnya?" Ia menjawab, "Tiga puluh ribu halaman." Mereka pun berkata, "Itu akan menghabiskan umur kita sebelum dapat diselesaikan." Maka ia pun meringkasnya menjadi tiga ribu halaman, kemudian berkata, "Apakah kalian siap mempelajari sejarah dunia, mulai Nabi Adam sampai sekarang?" Mereka menjawab, "Berapa tebalnya?" Lalu ia menyebutkan jumlah yang sama dengan tafsirnya, dan mereka pun menjawab seperti jawaban sebelumnya, maka ia mengatakan, "Inna lillah.. sungguh kemauan kalian telah mati.""'!

Di antara sifat-sifatnya terhadap orang-orang disekitarnya adalah lembut, luwes, sopan, rendah hati, ramah dan ceria, bahkan terkadang mengajak mereka bercanda tanpa mengurangi wibawanya di kalangan mereka." Juga diantara perangainya adalah menjauhi orang-orang yang bejat dan menjauhkan mereka dari majelisnya."

Thabari membagi waktu siang dan malamnya untuk kepentingan agama, dirinya dan orang lain. Di dalam rumah, ia menghabiskan waktunya untuk menulis sampai tiba shalat Ashar, kemudian keluar rumah untuk menunaikan shalat Ashar berjamaah dan duduk hingga Maghrib mengajari orang-orang. Kemudian memberikan pelajaran fiqih hingga shalat Isya', setelah itu ia kembali ke rumahnya" dan menulis lagi.

Diantara kebiasaannya setelah masuk rumah, ia tidak menerima tamu seorang pun karena sangat sibuk mengarang buku, kecuali ada urusan darurat tertentu." Namun kesibukannya ini tidak menghalanginya untuk membaca Al Qur'an. Seperti diceritakan bahwa setiap malam ia membaca seperempat Al Qur'an atau disebutkan jumlah yang banyak. Dan, meskipun demikian sibuknya dengan urusan keilmuan, namun ia selalu hadir jika diundang ke suatu acara atau walimah. Dan kehadirannya tentu merupakan sebuah kehormatan dan kebahagiaan tersendiri bagi yang sahibul hajat. Juga diceritakan bahwa sesekali ia keluar ke padang sahara bersama para sahabatnya dan makan bersama mereka." Ia dikenal sangat sibuk dengan ilmu pengetahuan hingga ketika makan. Dan boleh jadi dihidangkan suatu makanan di hadapannya lalu ia menguraikan ilmu dan berbagai permasalahan mengenai makanan tersebut hingga seolah ia merupakan pengetahuan yang sangat langka dan sangat berharga daripada yang lainnya."

Demikianlah ilmu telah menguasai akal dan hatinya, siang dan malamnya, sehingga setiap pagi dan sore ia pun disibukkan dengan ilmu, hingga hidup membujang sampai akhir hayatnya, tidak memiliki istri dan anak. Oleh karenanya ia disebut sebagai "hashuran" (orang yang menahan diri) dan tidak mengenal wanita, senantiasa sibuk dengan ilmu sejak usianya dua belas tahun dan terus menggeluti ilmu sampai ia wafat tahun 310H."

la masih saja tekun mencari ilmu hingga detik terakhir dalam hidupnya. Diriwayatkan bahwa ia mendengar sebuah doa yang ma'tsur (dari Nabi SAW) yang dibaca oleh salah seorang yang menjenguknya pada hari meninggalnya, maka ia pun minta diambilkan tinta dan kertas untuk menulisnya. Maka ia pun ditanya, "Apakah masih diperlukan dalam kondisi seperti ini?" Ia menjawab, "Hendaknya manusia tidak meninggalkan kesempatan mencari ilmu hingga akhir hayatnya

Usia tua dan kondisi sakit tidak menghalanginya untuk menunaikan hak- hak Allah, dan yang paling utama adalah shalat, dimana ketika telah masuk waktu Zhuhur pada hari meninggalnya ia meminta diambilkan air untuk memperbaharui wudhunya, lalu ia pun ditegur oleh seseorang yang berada di sisinya dan mengatakan, "Sebaiknya engkau akhirkan shalat Zhuhur dan menjamaknya dengan Ashar." Namun ia enggan dan tetap melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar pada waktunya masing-masing dengan sangat sempurna."

Dan pada hari kematiannya, sekelompok sahabatnya datang dan berkata kepadanya, “Kamu adalah bukti antara kami dan Tuhan atas apa yang kami yakini, lalu adakah wasiat bagi kami mengenai urusan agama kami?” beliau pun bersabda, “Apa yang aku yakini dan wariskan kepadamu adalah apa yang aku tuliskan dalam kitabku, maka amalkanlah.” Kemudian beliau memperbanyak bacaan syahadat dan dzikir kepada Allah hingga ajal menjemputnya.” Thabari wafat pada akhir bulan Syawal tahun 310 H.” Sejumlah riwayat menyebutkan bahwa ia dikuburkan di dalam rumahnya, di Rahbah Ya'qub."

Sebagian sejarawan menyebutkan bahwa hal ini karena adanya sebab tertentu, yakni sebagian pengikut madzhab Hanbali yang awam melarang penguburan imam Thabari di siang hari," itu pun disebabkan hubungannya dengan mereka tidak baik. Dan ini dikuatkan oleh sejumlah riwayat yang menyebutkan mengenai buruknya hubungan antara mereka, sampai sebagian ahli hadits menuduh mereka telah menganiayanya, bahkan lebih dari itu mereka telah memboikotnya dan melarang orang-orang belajar darinya. Diantara mereka adalah Husein bin Ali At-Tamimi yang mengatakan, "Ketika aku kembali dari Baghdad ke Nisabur, aku ditanya oleh Muhammad bin Ishaq bin Khuzaimah, katanya, "Kepada siapakah engkau belajar di Baghdad?" Aku lalu menyebut sejumlah nama guru yang pernah aku timba ilmunya." Lalu ia bertanya, "Pemahkah engkau mendengar langsung dari Muhammad bin Jarir?" Aku menjawab, "Tidak, ia memang ada di Baghdad, tapi tidak boleh dijumpai karena pengikut Hanbali melarangnya." Maka ia pun berkata, "Kalau saja engkau pernah mendengar sesuatu darinya, maka itu jauh lebih baik dari semua yang pernah kau dengar dari yang lainnya."

As-Sabki menyebutkan riwayat ini kemudian mengomentarinya dan menganggapnya tidak benar seraya mengatakan, "Tidak munculnya Thabari bukan karena ia dilarang muncul, juga bukan karena pengikut Hanbali menghalanginya, bahkan kedudukan Thabari jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka untuk melarangnya, melainkan penyebabnya adalah karena Thabari sendiri melarang dirinya berkumpul dengan orang-orang yang hina, ia tidak mengizinkan seorang pun berkumpul dengannya kecuali orang-orang yang dipilihnya, dan telah diketahui benar bahwa ia berada pada jalur Sunnah yang lurus. Sementara pendatang baru dari negeri lain tidak diketahui bagaimana sosok dan pribadi yang sebenarnya."

 As-Sabki menguatkan penafsirannya ini dengan mengatakan bahwa dalam riwayat tersebut terdapat bukti bahwa berkumpul dengan Thabari adalah sesuatu yang mungkin, dimana Ibnu Ishaq mengatakan kepada Husain, "Seandainya engkau pernah mendengar sesuatu darinya, maka itu jauh lebih baik dari semua yang pernah engkau dengar dari yang lainnya." Hal ini membuktikan bahwa mendengar langsung dari Thabari adalah sesuatu yang mungkin, dan jika dilarang, tentu ia tidak akan mengatakan demikian."

Namun penafsiran ini masih dianggap kurang cukup untuk menafikan opini bahwa hubungan antara Thabari dengan pengikuti Hanbali tidak baik," bahkan -menurut sebagian riwayat sampai pada tingkat permusuhan dan penganiayaan, dan berbagai berita mengenai penyebab terjadinya masalah ini pun berbeda-beda.

Sebagian riwayat menyebutkan bahwa penyebabnya adalah karena sebagian pengikut Hanbali yang awam telah salah paham mengenai pola pandang Thabari dalam sejumlah permasalahan. Dan orang awam--di manapun- mereka memang tidak memiliki ilmu yang cukup untuk bersabar dan berlapang dada hingga dapat memahami perbedaan pendapat yang mungkin terjadi antara para mujtahid. Mereka secara umum- rasa fanatismenya lebih dominan daripada memberikan pengertian dan toleransi yang layak terhadap para ulama, akhirnya At Thabari pun menjadi korban fanatisme ini dalam dua permasalahan: pertama berkaitan dengan pendapatnya mengenai fiqih imam Ahmad bin Hanbal, dan keduanya berkaitan dengan pendapatnya mengenai sejumlah permasalahan akidah.

Begitulah Biografi singkat yang cukup panjang dari Beliau Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Abu Ja'far At Thabari. Mudah2an keberkahan selalu dilimpahkan kepadanya dan kita semua Amiin YRA..

Wallahu alam  bishowab                                                                                                                                         


Comments