Muhammad Ibnu Jarir At Thabari
Akhir akhir ini sering buku baca tafsir Al Qu'ran At Thabari, banyak hal hal baru yang diceritakan buku tersebut. Siapakah At Thabari ?. izinkan kami menukil tulisan mengenai At Thabari dari buku Tafsirnya.
Nama lengkapnya Muhammad bin Jarir
bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Abu Ja'far. Lahir di kota Amul (kota terbesar
di Tabarstan). Sebenarnya banyak ulama yang lahir di kota ini, namun mereka
tidak mengkaitkan dirinya dengan beliau, melainkan mengkaitkan dirinya dengan
“Tabarstan”, termasuk Imam Ath-Thabari.
Mayoritas sejarawan mengatakan
bahwa imam ini dilahirkan pada tahun 224 H. Namun sebagian dari mereka
mengatakan bahwa ia dilahirkan pada akhir tahun 224 H, dan sebagian yang lain
mengatakan bahwa ia dilahirkan pada awal tahun 225 H." Pendapat ini dinisbatkan
kepada muridnya yang bernama Al Qadhi Ibnu Kamil yang menceritakan bahwa suatu
hari ia pernah menanyakan hal itu kepada gurunya, yakni Ath-Thabari. Ia
bertanya, "Bagaimana Anda bisa ragu dalam masalah ini?" Thabari
menjawab, "Karena penduduk negeri kami biasanya menetapkan tanggal
kelahiran seseorang sesuai dengan kejadian tertentu dan bukan dengan tahun,
maka tanggal lahirku pun ditetapkan sesuai dengan kejadian yang terjadi di
negeri kami pada saat itu. Setelah dewasa, aku bertanya-tanya mengenai kejadian
tersebut, namun orang-orang menjawabnya dengan berbagai versi yang
berbeda-beda. Diantara mereka ada yang mengatakan bahwa hal itu terjadi pada
akhir tahun 224 H, dan sebagian yang lain mengatakan awal tahun 225
H.""
Ayahnya tergolong orang yang berada
dan dikenal sebagai pecinta ilmu dan ulama, ia pun senantiasa memotivasi dan
mensupport puteranya untuk menuntut ilmu. Ath-Thabari pun menuruti perintah
ayahnya dengan senang hati, lalu mulailah tampak tanda-tanda kecerdasan dan
kepiawaiannya sejak awal menuntut ilmu. Ath-Thabari pernah menegur salah
seorang muridnya yang bernama Ibnu Kamil karena melarang anaknya yang baru
berusia sembilan tahun untuk mempelajari ilmu hadits dengan alasan usianya
masih terlalu dini untuk tingkatan ilmu ini. Ketika Thabari mengetahui hal
tersebut, ia pun menegurnya dan mengatakan, "Aku telah hafal Al Qur'an
ketika umurku tujuh tahun, menjadi imam shalat ketika umurku delapan tahun, dan
menulis hadits di usia sembilan tahun."
Tanda-tanda kegembiraan (baca;
kebaikan) yang dilihat ayahnya dalam mimpinya menambah semangatnya untuk
mencari ilmu. Thabari berkata, “Ayahku pernah bermimpi bahwa aku berada di
hadapan Rasulullah, dan di tanganku ada tas yang penuh dengan batu dan aku melemparkannya
ke hadapan beliau.
Ahli ta'bir pun mengatakan
kepadanya bahwa kelak ketika dewasa, ia akan menjadi seorang alim yang mengabdi
kepada agamanya. Syahdan, setelah mendengar penjelasan mimpi tersebut, ayahku
pun bertambah semangat dan memberikan dorongan penuh untuk menuntut ilmu,
padahal waktu itu aku masih sangat belia
Kerja keras Thabari dalam mencari
ilmu pernah diriwayatkan sebagai berikut, “Kami pernah menulis kepada Muhammad
bin Humaid Ar-Razi, lalu beliau menemui kami beberapa kali dalam satu malam dan
menanyakan apa yang kami tulis, lalu beliau mengulangi bacaannya kepada kami.”
Thabari berkata, "Kami pemah
menemui Ahmad bin Hamad Ad-Dulabi, ia tinggal di sebuah daerah di Ray (sebuah
kota di Persia), yang berjarak cukup jauh, kami menyeberang daerah perairan
beberapa jauh layaknya or- ang yang tidak waras, hingga kami sampai di tempat
Ibnu Humaid dan mendapati majelisnya."
Sebagaimana halnya tradisi para ulama sejak masa para sahabat dan tabi'in, Thabari pun mengembara ke beberapa negeri lainnya guna menuntut ilmu. Ia mengembara ke Baghdad untuk mendengar penuturan dari para ulama disana, dan dalam hati ia sangat ingin mendengar langsung dari Abu Abdillah Ahmad bin Hanbal (241 H), namun hal itu tidak terwujud karena imam Ahmad terlebih dahulu meninggal dunia sebelum Thabari sampai ke kota Baghdad.
Ini menjadi bukti betapa tingginya semangat Thabari
dalam menuntut ilmu, padahal waktu itu ia baru berusia tujuh belas tahun, namun
semangatnya yang senantiasa membara mengalahkan jauhnya perjalanan, sulitnya
hidup di rantau dengan perbekalan yang seadanya." Ini semua dilakukan oleh
Thabari semata-mata ingin mencapai apa yang pernah diimpikan oleh ayahnya,
yaitu berkedudukan mulia dalam agama yang menuntutnya harus banyak memiliki
ilmu pengetahuan, perbekalan dan kesabaran. Dan, hal ini tidak akan terwujud
kecuali dengan menemui para ulama serta bersabar dengan kondisi yang ada, yang mungkin
saja diantara mereka ada yang berwatak keras atau hanya memiliki waktu yang
sangat sempit.
Setelah berguru di Bashrah, Thabari
berguru di Kufah kepada guru yang lain, yakni syaikh Abu Kuraib Muhammad bin
Ala' Al Hamdani (243 H). la tergolong guru yang perlakuannya sangat keras
terhadap para muridnya, hingga banyak diantara mereka yang tidak dapat
menyelesaikan proses belajar di majelisnya. Thabari pun merasa khawatir tidak
sanggup menyelesaikan halaqah di majelisnya, namun ia bertekad untuk maju ke
"medan laga" dan tidak bersikap pengecut. Thabari mengisahkan,
"Aku mendatangi pintu rumahnya bersama beberapa ahli hadits, tiba-tiba ia
keluar dari pintu rumahnya. Kami pun meminta izin untuk masuk, namun ia
mengatakan, "Siapa diantara kalian yang hafal apa yang pernah ia tulis
dariku?" kami pun memandang antara satu dengan yang lain, kemudian mereka
memandangiku dan mengatakan, Apakah kau hafal apa yang kau tulis darinya?' Aku
menjawab, "Ya." Maka mereka pun berseru, "Orang ini hafal,
tanyalah dia." Maka aku pun berkata, "Tuan pernah meriwayatkan kepada
kami masalah ini pada hari ini, dan masalah ini pada hari ini.' Mendengar
penjelasan itu, Abu Kuraib terus menanyakan beberapa hal kepadanya hingga ia
pun mengakui kehebatannya dan mengatakan kepadanya, "Silakan, kau masuk ke
rumahku." Dan ia pun mengagungkannya, padahal usianya masih muda, serta
memperkenankannya menyimak pelajaran lainnya.
Dalam rangka mencari ilmu, imam Ath-Thabari tidak cukup hanya dengan usaha yang keras dan sabar, akan tetapi ia dinilai sebagai sosok yang jujur, ikhlas, zuhud, wara' dan amanah. Hal ini terlihat dari karyanya, yakni kitab Adab An-Nufus. la meninggalkan gemerlap kehidupan dunia dan tidak mencari kenikmatan yang ada padanya.
Apa yang ditulisnya dalam buku ini tentang moral dan kesucian jiwa merupakan pengalaman pribadinya selama ia mengembara mencari ilmu. Di mana sifat-sifat terpuji tersebut terpatri dalam dirinya dan menyatu dalam kehidupannya, sehingga menjadi tabiat yang kuat dan kokoh. Berapa banyak. orang yang mengaku zuhud, wara', pemberani, dan lainnya, namun dalam realitanya ia nampak dengan karakter yang sebenarnya. Adapun orang yang ikhlas dan jujur, tidak akan goyah sedikit pun dalam kondisi apapun.
Diantaranya adalah Imam Ath-Thabari yang dengan ilmunya pantas mendudukkannya pada deretan para penguasa dan orang kaya, namun ia enggan melakukannya dan lebih memilih balasan dari Allah Ta'ala. la pernah ditawarkan jabatan dalam pemerintahan, namun ia menolaknya. Ia pernah diberi hadiah oleh penguasa, namun ia enggan menerimanya. Demikianlah Ath-Thabari, ia lebih memilih hidup yang kekurangan daripada hidup berlebihan.
Sisi khusus kehidupan Thabari ini
dicatat oleh para sahabat dan ulama lain pada masanya, mereka berkata, “Tidak
ada seorang pun di antara ulama yang mengingkari tingginya ilmunya,
asketismenya di dunia dan sifat qana 'ahnya dengan sedikit harta yang
diterimanya dari peninggalan ayahnya di Tabarstan. Ketika Al Khaqani menjabat
sebagai menteri, ia mengirimkan sejumlah harta kepadanya, namun ia enggan
menerimanya. Ia pun ditawari untuk menduduki jabatan qadhi, namun ia
menolaknya. Ketika itu para sahabatnya mengeluh dan mengatakan kepadanya,
"Anda mendapat pahala dengan menduduki posisi ini dan Anda dapat
menghidupkan Sunnah yang telah Anda pelajari." Mereka sangat berantusias
agar Thabari mau menerima jabatan tersebut. Namun Thabari malah menghardik dan
mengatakan, "Aku pikir jika aku menerima posisi ini, kalian justru akan
melarangku!"
Suatu ketika sang menteri
memintanya untuk membuat sebuah buku tentang fiqih, maka ia pun mengarang Kitab
Al Khafif untuknya, dan dikirimlah untuknya uang seribu Dinar sebagai hadiah,
namun ia menolaknya."
Kisah-kisah ini membuktikan bahwa
sifat zuhud, wara' dan gana'ah telah terpatri dalam diri Thabari, dimana ia
merasa sangat takut mengkonsumsi makanan yang haram atau syubhat. Ia takut jika
menjabat sebagai qadhi akan berlaku tidak adil hingga dapat menodai kesucian
ilmu dan kehormatan dirinya. Sebagian orang mungkin senang memangku jabatan
dalam pemerintahan karena memperoleh harta dan kedudukan, namun orang-orang
shalih seperti Thabari justru merasa takut dan menjauhinya karena takut kepada
Allah Ta'ala.
Demikianlah Thabari enggan menerima
harta dan kedudukan, bahkan enggan menerima jabatan yang berkaitan dengan
kapasitas keilmuannya semata-mata karena takut terjerumus dalam jurang
kehancuran. Mungkin berusaha berlaku adil, namun ada sesuatu yang menghalanginya,
atau berusaha menghindar dari tindak aniaya, namun malah terjerumus ke dalamnya
tanpa sengaja. Oleh karenanya Thabari dan ulama sekelasnya lebih memilih
menjauh dan tidak menerima jabatan yang berat semacam ini. Dalam hal ini ia
memiliki contoh yang baik dari para salaf shaleh seperti Abu Hanifah, Malik,
Syafi'i dan lain-lain.
Thabari terus menekuni pola kehidupan zuhud dan berhati-hati, sampai ketika dalam kondisi terpaksa yang harus dijalaninya, ia tidak lupa membatasi dirinya, yaitu mengambil apa yang menjadi haknya dan menolak yang lebih dari itu meskipun halal. Ketika Thabari masuk ke kota Baghdad, pada salah satu perjalanannya ke kota ini, ia membawa sejumlah barang perbekalan lalu dicuri orang maka ia pun terpaksa menjual beberapa helai pakaiannya. Lalu salah seorang sahabatnya menawarkan padanya untuk memberi pelajaran khusus (privat) kepada anak-anak salah seorang menteri, dan ia pun menyetujuinya dengan sejumlah persyaratan yang berkaitan dengan waktu belajar, ibadah dan istirahatnya. Lalu ia meminta sejumlah uang kepada menteri sebagai pinjaman yang harus dikembalikan dan bukan sebagai hadiah atau pemberian.
Setelah disepakati, Thabari pun
mulai mengajar dengan sangat optimal sampai sang menteri merasa puas dan
gembira dengannya. Ia pun diberi hadiah yang sangat banyak, namun semua itu
ditolaknya dan mengatakan, "Aku telah menetapkan syarat tertentu, dan aku
tidak akan mengambil yang lebih dari itu." Dalam kesempatan lain ketika
mereka meminta agar menerima hadiah tersebut dan menyedekahkannya, ia pun
menolak dan mengatakan, "Kalian lebih membutuhkannya dan lebih mengetahui
kepada siapa selayaknya disedekahkan."
Demikianlah sosok imam Thabari yang
mulia, wara', qana'ah dan pemurah hingga dalam kondisi sangat membutuhkan.
Syair-syair yang ditulisnya berikut ini menunjukkan kebenaran hal tersebut, ia
melantunkan:
Jika aku mengalami kesusahan, maka temanku tidak mengetahuinya, karena aku merasa cukup maka temanku pun tidak memerlukannya Rasa maluku menjaga kehormatanku, dan sedikitnya kebutuhan menjadi teman seriaku Kiranya aku berkenan mengorbankan kehormatanku, niscaya jalan kekayaan sangatlah mudah bagiku
Lalu dia meneriakkan:
Dua perilaku yang aku tidak sukai,
sombongnya kekayaan dan
penghinaan terhadap kemiskinan
Jika kamu orang kaya maka jangan
sombong, dan jika kamu miskin maka jangan rendah hati
Demikianlah Thabari melengkapi dirinya dengan ilmu dan perilaku, sehingga pantas menjadi guru dalam berbagai disiplin ilmu. Kehebatannya telah diakui oleh emua orang, bahkan sebagian mereka menyebutnya dengan mengatakan, "la adalah orang yang paling baik pemahamannya terhadap ilmu, paling tekun belajarnya dan paling baik cara mengajarnya. "
Thabari layak menyandang predikat
kesempurnaan seperti halnya ulama lainnya. Diantara etika beliau dalam mengajar
adalah menghindari sifat-sifat yang tidak pantas bagi seorang pembelajar ilmu
sampai akhir hayatnya. Ia dikenal sangat bersungguh-sungguh dalam segala hal
dan berusaha semaksimal mungkin bersikap adil dan bijaksana dalam kumpulan
ilmunya.
la tidak suka membedakan antara
satu muridnya dengan yang lainnya, dimana ada salah seorang muridnya yang ingin
diajari secara khusus, namun ditolaknya kendatipun murid itu sangat
dicintainya. Thabari tidak suka melebihkan seseorang dari yang lain dalam masalah
ilmu, dan inilah sifatnya. la enggan menyampaikan pelajaran dalam majelisnya
apabila salah seorang muridnya tidak hadir, dan jika ada yang meminta diajari
lalu tidak hadir, maka ia tidak akan mengajarinya sampai datang kembali,
kecuali tentang fatwa, kapan saja ditanya ia langsung menjawabnya. Hal ini
secara sekilas seperti hadiah bagi yang tidak hadir dan hukuman bagi yang
hadir, namun sebenarnya tidak demikian, ia hanya bermaksud agar semua muridnya
merasa bertanggung jawab dengan sesama saudaranya. Di samping itu hal ini juga
menunjukkan perhatian yang sangat besar dari seorang guru terhadap para
muridnya. Jika Thabari enggan menerima uang dan pemberian harta dari para
pejabat, maka terlebih lagi terhadap para muridnya yang miskin, sedikitpun ia
tidak memungut biaya dari mereka, padahal waktu itu para ulama tidak memiliki
gaji dan penghasilan yang tetap untuk mencukupi kebutuhan hidup dirinya dan
keluarganya. Sebagian orang sangat mudah menerima pemberian dari orang lain,
terlebih ketika dalam kondisinya sangat membutuhkan, namun tidak demikian
halnya dengan Thabari. Seperti yang diceritakan bahwa Abul Faraj Al Asfahani
pulang-pergi belajar dari imam Thabari, lalu pada suatu ketika Thabari mencari
tikar untuk tempat duduknya, maka masuklah Abul Faraj mengukur tempat tersebut
dan memberinya sebuah tikar dengan harapan dapat menyenangkan hati Thabari,
namun ketika keluar dipanggilnya putera Abul Faraj itu dan diberinya uang empat
dinar, maka ia pun menolaknya, namun Thabari enggan mengambil tikar tersebut
kecuali dengan imbalan harga yang diberikan.
Kendatipun sedemikian tinggi
kedudukan Ath-Thabari, namun ia tidak segan mengajak para sahabatnya untuk
bermusyawarah tentang majelis ilmunya. Sebagaimana diceritakan bahwa suatu
ketika ia bertanya kepada para sahabatnya, "Apakah kalian siap untuk menafsirkan
Al Qur'an?" Mereka berkata, "Berapa tebalnya?" Ia menjawab,
"Tiga puluh ribu halaman." Mereka pun berkata, "Itu akan
menghabiskan umur kita sebelum dapat diselesaikan." Maka ia pun
meringkasnya menjadi tiga ribu halaman, kemudian berkata, "Apakah kalian
siap mempelajari sejarah dunia, mulai Nabi Adam sampai sekarang?" Mereka
menjawab, "Berapa tebalnya?" Lalu ia menyebutkan jumlah yang sama
dengan tafsirnya, dan mereka pun menjawab seperti jawaban sebelumnya, maka ia
mengatakan, "Inna lillah.. sungguh kemauan kalian telah
mati.""'!
Di antara sifat-sifatnya terhadap orang-orang disekitarnya adalah lembut, luwes, sopan, rendah hati, ramah dan ceria, bahkan terkadang mengajak mereka bercanda tanpa mengurangi wibawanya di kalangan mereka." Juga diantara perangainya adalah menjauhi orang-orang yang bejat dan menjauhkan mereka dari majelisnya."
Thabari membagi waktu siang dan
malamnya untuk kepentingan agama, dirinya dan orang lain. Di dalam rumah, ia
menghabiskan waktunya untuk menulis sampai tiba shalat Ashar, kemudian keluar
rumah untuk menunaikan shalat Ashar berjamaah dan duduk hingga Maghrib
mengajari orang-orang. Kemudian memberikan pelajaran fiqih hingga shalat Isya',
setelah itu ia kembali ke rumahnya" dan menulis lagi.
Diantara kebiasaannya setelah masuk
rumah, ia tidak menerima tamu seorang pun karena sangat sibuk mengarang buku,
kecuali ada urusan darurat tertentu." Namun kesibukannya ini tidak
menghalanginya untuk membaca Al Qur'an. Seperti diceritakan bahwa setiap malam
ia membaca seperempat Al Qur'an atau disebutkan jumlah yang banyak. Dan,
meskipun demikian sibuknya dengan urusan keilmuan, namun ia selalu hadir jika
diundang ke suatu acara atau walimah. Dan kehadirannya tentu merupakan sebuah
kehormatan dan kebahagiaan tersendiri bagi yang sahibul hajat. Juga diceritakan
bahwa sesekali ia keluar ke padang sahara bersama para sahabatnya dan makan
bersama mereka." Ia dikenal sangat sibuk dengan ilmu pengetahuan hingga
ketika makan. Dan boleh jadi dihidangkan suatu makanan di hadapannya lalu ia
menguraikan ilmu dan berbagai permasalahan mengenai makanan tersebut hingga
seolah ia merupakan pengetahuan yang sangat langka dan sangat berharga daripada
yang lainnya."
Demikianlah ilmu telah menguasai
akal dan hatinya, siang dan malamnya, sehingga setiap pagi dan sore ia pun
disibukkan dengan ilmu, hingga hidup membujang sampai akhir hayatnya, tidak
memiliki istri dan anak. Oleh karenanya ia disebut sebagai "hashuran"
(orang yang menahan diri) dan tidak mengenal wanita, senantiasa sibuk dengan
ilmu sejak usianya dua belas tahun dan terus menggeluti ilmu sampai ia wafat
tahun 310H."
la masih saja tekun mencari ilmu
hingga detik terakhir dalam hidupnya. Diriwayatkan bahwa ia mendengar sebuah
doa yang ma'tsur (dari Nabi SAW) yang dibaca oleh salah seorang yang
menjenguknya pada hari meninggalnya, maka ia pun minta diambilkan tinta dan
kertas untuk menulisnya. Maka ia pun ditanya, "Apakah masih diperlukan
dalam kondisi seperti ini?" Ia menjawab, "Hendaknya manusia tidak
meninggalkan kesempatan mencari ilmu hingga akhir hayatnya
Usia tua dan kondisi sakit tidak
menghalanginya untuk menunaikan hak- hak Allah, dan yang paling utama adalah
shalat, dimana ketika telah masuk waktu Zhuhur pada hari meninggalnya ia
meminta diambilkan air untuk memperbaharui wudhunya, lalu ia pun ditegur oleh
seseorang yang berada di sisinya dan mengatakan, "Sebaiknya engkau
akhirkan shalat Zhuhur dan menjamaknya dengan Ashar." Namun ia enggan dan
tetap melaksanakan shalat Zhuhur dan Ashar pada waktunya masing-masing dengan
sangat sempurna."
Dan pada hari kematiannya,
sekelompok sahabatnya datang dan berkata kepadanya, “Kamu adalah bukti antara
kami dan Tuhan atas apa yang kami yakini, lalu adakah wasiat bagi kami mengenai
urusan agama kami?” beliau pun bersabda, “Apa yang aku yakini dan wariskan
kepadamu adalah apa yang aku tuliskan dalam kitabku, maka amalkanlah.” Kemudian
beliau memperbanyak bacaan syahadat dan dzikir kepada Allah hingga ajal
menjemputnya.” Thabari wafat pada akhir bulan Syawal tahun 310 H.” Sejumlah
riwayat menyebutkan bahwa ia dikuburkan di dalam rumahnya, di Rahbah
Ya'qub."
Sebagian sejarawan menyebutkan
bahwa hal ini karena adanya sebab tertentu, yakni sebagian pengikut madzhab
Hanbali yang awam melarang penguburan imam Thabari di siang hari," itu pun
disebabkan hubungannya dengan mereka tidak baik. Dan ini dikuatkan oleh
sejumlah riwayat yang menyebutkan mengenai buruknya hubungan antara mereka,
sampai sebagian ahli hadits menuduh mereka telah menganiayanya, bahkan lebih
dari itu mereka telah memboikotnya dan melarang orang-orang belajar darinya.
Diantara mereka adalah Husein bin Ali At-Tamimi yang mengatakan, "Ketika
aku kembali dari Baghdad ke Nisabur, aku ditanya oleh Muhammad bin Ishaq bin
Khuzaimah, katanya, "Kepada siapakah engkau belajar di Baghdad?" Aku
lalu menyebut sejumlah nama guru yang pernah aku timba ilmunya." Lalu ia
bertanya, "Pemahkah engkau mendengar langsung dari Muhammad bin
Jarir?" Aku menjawab, "Tidak, ia memang ada di Baghdad, tapi tidak
boleh dijumpai karena pengikut Hanbali melarangnya." Maka ia pun berkata,
"Kalau saja engkau pernah mendengar sesuatu darinya, maka itu jauh lebih
baik dari semua yang pernah kau dengar dari yang lainnya."
As-Sabki menyebutkan riwayat ini
kemudian mengomentarinya dan menganggapnya tidak benar seraya mengatakan,
"Tidak munculnya Thabari bukan karena ia dilarang muncul, juga bukan
karena pengikut Hanbali menghalanginya, bahkan kedudukan Thabari jauh lebih
tinggi dari kemampuan mereka untuk melarangnya, melainkan penyebabnya adalah
karena Thabari sendiri melarang dirinya berkumpul dengan orang-orang yang hina,
ia tidak mengizinkan seorang pun berkumpul dengannya kecuali orang-orang yang
dipilihnya, dan telah diketahui benar bahwa ia berada pada jalur Sunnah yang
lurus. Sementara pendatang baru dari negeri lain tidak diketahui bagaimana
sosok dan pribadi yang sebenarnya."
Namun penafsiran ini masih dianggap
kurang cukup untuk menafikan opini bahwa hubungan antara Thabari dengan
pengikuti Hanbali tidak baik," bahkan -menurut sebagian riwayat sampai
pada tingkat permusuhan dan penganiayaan, dan berbagai berita mengenai penyebab
terjadinya masalah ini pun berbeda-beda.
Sebagian riwayat menyebutkan bahwa
penyebabnya adalah karena sebagian pengikut Hanbali yang awam telah salah paham
mengenai pola pandang Thabari dalam sejumlah permasalahan. Dan orang awam--di
manapun- mereka memang tidak memiliki ilmu yang cukup untuk bersabar dan
berlapang dada hingga dapat memahami perbedaan pendapat yang mungkin terjadi
antara para mujtahid. Mereka secara umum- rasa fanatismenya lebih dominan
daripada memberikan pengertian dan toleransi yang layak terhadap para ulama,
akhirnya At Thabari pun menjadi korban fanatisme ini dalam dua permasalahan:
pertama berkaitan dengan pendapatnya
Begitulah Biografi singkat yang cukup panjang dari Beliau Muhammad bin Jarir bin Yazid bin Katsir bin Ghalib, Abu Ja'far At Thabari. Mudah2an keberkahan selalu dilimpahkan kepadanya dan kita semua Amiin YRA..
Wallahu alam bishowab
Comments
Post a Comment